37
Kabar Kematian
Bulan malam itu tampak begitu terang. Anak-anak berlarian saling mengejar, sementara majikan laki-laki berbaring di atas tanah dengan berbantalkan kaki istrinya. Malam itu majikan laki-laki memang mengajak anak-anak dan istrinya untuk berekreasi di sebuah taman kota di pinggir jalan tak jauh dari rumah mereka. Aku pun diajak turut serta untuk menemani anak-anak bermain.
Menyaksikan anak-anak tertawa begitu bahagia, aku jadi teringat akan masa kecilku di kampung. Rasanya tak pernah sekali pun aku diajak bermain di sebuah taman oleh orangtuaku. Paling banter, aku diajaknya main ke pasar tradisional yang jaraknya cukup jauh, sekitar tiga puluh menit ditempuh dengan sepeda butut bapakku. Itu pun aku hanya diajak muter-muter tanpa jelas hendak membeli sesuatu.
Air mataku seketika mengalir begitu saja tanpa kuperintah. Aku ingat ibuku. Batinku seakan tercabik-cabik oleh rasa rindu yang makin hari makin tebal dan tak tersembuhkan. Aku, nyatanya, tersiram kuah rindu. Ingin rasanya aku melipat waktu seketika itu juga lalu terbang pergi ke kampung halamanku, kemudian memeluk erat ibuku, dan tak akan pernah kulepaskan lagi.
“Leis sayyih, ya Roy?” Kenapa menangis, Roy? Tanya Muad tiba-tiba menghampiriku yang tengah duduk di atas rerumputan taman kota.
“La, la, la,” Enggak, enggak, enggak, kok, jawabku. “Ana mafi sayyih, ya habibi,” Aku gak nangis, sayangku, lanjutku.