38
Dia Merenggut Jiwaku
Sepanjang hari, usai kabar duka itu, duniaku runtuh. Dunia yang baru saja kubangun dari fondasi kerapuhan, kini kembali diterpa gempa berkekuatan jutaan skala richter! Hancur berkeping-keping, lalu terbang seperti debu tertiup angin. Aku tak lagi sanggup untuk bangun dan kembali menata hidup. Aku tak lagi mampu untuk sekadar meneruskan mimpi. Atau untuk bangun dan melihat kenyataan. Untuk menerima bahwa tongkat penuntun hidupku sudah tiada. Jiwaku menjadi limbung, dan darahku mulai mendidih. Aku seperti terbakar api dan terkepung oleh kepulan asap hitam yang entah datangnya dari mana. Dadaku mulai sesak. Dan, yang tak kusangka, aku mulai meragukan Tuhan.
Aku merasa, selama ini, sejak aku dikenalkan konsep tentang Tuhan, sejak itu pula aku selalu mengagumi dan menyembah-Nya. Menyerahkan seluruh hidupku untuk Dia. Bukan lagi soal salat, membaca Qur’an, mengerjakan sederet ibadah wajib maupun sunnah, tetapi seluruh hidupku sudah kuhadiahkan untuk Tuhan. Dari bangun tidur hingga tidur lagi, seluruh isi napasku hanya tentang Dia. Dan karenanya, aku takut mengecewakan Dia. Takut membuatnya kecewa. Aku takut membuat-Nya marah. Tetapi hari ini, Dia telah membuatku kecewa. Dia bahkan sama sekali tidak memperhatikan perasaanku. Dia mengambil ibuku. Mengambil tongkat penuntun hidupku tepat pada saat aku sedang benar-benar menginginkannya. Tepat pada saat aku benar-benar membutuhkannya. Dia telah merenggut jiwaku.