Hari ini tepat seratus delapan puluh hari aku tinggal di rumah majikan. Hatiku masih belum bisa memaafkan Tuhan. Aku memang salat. Tetapi, aku sama sekali tak menghiraukan semua gerakan salat yang kulakukan. Aku persis seperti burung mematuk-matuk paruhnya. Tak berdampak sekali pun kepada jiwaku. Aku masih marah kepada Tuhan. Masih benci kepada Tuhan. Masih enggan untuk bercakap mesra dengan Tuhan. Aku memilih untuk tetap mempertahankan kemarahanku. Mempertahankan rasa kecewaku. Maka, sejak telingaku mendengar kabar kematian Ibu, tak sekali pun aku membuka lembaran suci-Nya lagi. Aku merasa muak membaca semua surat-surat-Nya. Surat yang berisi kabar gembira maupun kabar menakutkan tentang hari kiamat kelak.
“Isma’ni.” Dengarkan aku, Rahaf menyodorkan Al-Qur’an ke tanganku.
Wah, apa ini? Tumben-tumbenan dia memberikan Qur’annya kepadaku, lalu memintaku untuk mendengar hafalannya. Setiap hari kulihat dia memang menghafal dan morojaah-an bersama majikan perempuan. Tetapi, kenapa hari ini Qur’annya diberikan kepadaku, seorang pembantu?
“Mama ruh, wa abgho anti suf Qurani.” Mama lagi pergi, dan dia minta kamu yang dengerin hafalanku, lanjut Rahaf begitu melihat aku terbengong.
Maka, tak ada pilihan. Tak bisa menolak. Seperti biasa ini perintah dari seorang putri raja.
Aku pun duduk di meja belajar anak-anak yang terletak di ruang keluarga. Kulihat Riyuf juga tengah menghafal Qur’an juga. Sementara Abudi dan Muad sedang asyik menata sederet mobil-mobilan di kursi panjang, tempat biasanya majikan perempuan leyeh-leyeh sehabis pulang mengajar.
“Innallāha lā yastahyī an yadhriba matsalan mā ba‘ūdhatan fa mā fawqahā. Fa ammal ladzīna āmanū fa ya‘lamūna annahul haqqu min rabbihim. Wa ammal ladzīna kafarū fa yaqūlūna mādzā arādallāhu bi hādzā matsalan. Yudhillu bihī katsīran wa yahdī bihī katsīran. Wa mā yudhillu bihī illal fāsiqīn.” Rahaf mulai setor hafalannya.
Sial! Itu ayat perumpamaan tentang nyamuk. Aku pernah menghafalnya dulu waktu di pondok, dan aku masih tahu persis artinya, batinku memprotes. Sebab ini adalah salah satu surat yang wajib kami hafal lantaran letaknya yang ada di deretan awal lembaran Qur’an. Ia berada di Juz pertama, tepatnya Surat Al-Baqarah ayat ke-26.
Sungguh Allah tidak enggan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Sedangkan mereka yang kafir mengatakan, “Apakah maksud Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu banyak orang disesatkan Allah. Dengan itu pula banyak orang diberi petunjuk oleh-Nya. Tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.
Sementara Rahaf terus melantunkan bacaannya, aku justru malah sibuk dengan isi kepalaku. Tuhan, apakah aku termasuk orang fasik lagi kafir, dengan tidak lagi memercayai apa-apa yang datang dari-Mu? Mendengar apa yang keluar dari lubuk hatiku, mendadak aku seperti tersengat aliran listrik berkekuatan tinggi. Diam tak berdaya.
“Zayn, ya Roy?” Kamu baik-baik aja, Roy? Tanya Rahaf saat melihat mutiara kecil tumpah dari mataku. Aku pun tergeragap. Tidak tahu harus berkata apa. Seolah baru saja aku dibangunkan dari mimpiku yang panjang.