40
Miniatur Surga
Untuk kesekian kalinya aku diajak majikan berlibur. Suatu kali ke Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Kali berikutnya pergi ke ‘Amman. Dan kali ini, kami diajak berlibur ke Syiria.
Setiap tahun, berbarengan dengan liburnya sekolah anak-anak, keluarga besar majikan memang senang pergi jalan-jalan ke tempat-tempat tertentu. Dan majikanku, sepertinya lebih senang berkunjung ke lokasi yang masih alami dan tak terakses gegap gempitanya dunia modern seperti mal, malahi (area bermain seperti Dufan), qoryah maiyah (area kolam renang), dan sebagainya. Majikanku rupanya lebih senang memilih tempat seperti bangunan kuno bersejarah, seperti gua, gereja, masjid, dan area perkebunan yang sudah berumur tua.
Maka tak heran, kali ini majikanku membawa keempat anaknya dan aku pergi ke Syiria. Perjalanan ditempuh menggunakan mobil jeep selama hampir empat jam dengan melewati berbagai pos pemeriksaan.
Pada pos pemeriksaan kesatu dan kedua, majikanku bisa melewatinya dengan tenang, tak ada hambatan sedikit pun. Tetapi begitu hendak memasuki pos pemeriksaan ketiga, majikan tiba-tiba menghentikan mobilnya, lalu menepi ke sebuah tenda besar yang berada di tengah-tengah padang pasir. Tenda itu rupanya adalah tempat wisata bagi para pelancong yang ingin bermain mobil-mobilan seperti gokart di area padang pasir yang letaknya tidak jauh dari tenda si empunya bisnis. Mobil mainan itu khusus dinaiki anak-anak. Kupikir, anak-anak hendak disewakan mobil-mobilan ini. Tetapi, ini pukul 03.15 dini hari. Anak-anak pun masih terlelap tidur di jok mobil orangtuanya. Lalu, untuk apa majikan menepi?
Kulihat majikan perempuan juga masih terlelap. Hanya mataku yang sibuk memperhatikan segala gerak-gerik majikan laki-laki yang sibuk mengitari area agak jauh dari tenda. Majikan laki-laki kemudian memanggilku, dan memintaku membuat lubang yang cukup dalam dengan menggunakan kayu yang ia temukan di sekitar mobil. Mendengar suara gaduh majikan laki-laki saat memanggilku, majikan perempuan tergeragap, dan ikut bangun, lalu mendekatiku yang sedang mematung tak jauh dari mobil, menunggu arahan berikutnya dari majikan laki-laki.
Setelah aku selesai membuat lubang, majikan laki-laki kemudian menyodorkan sebuah pistol berwarna hitam, lalu memintaku memasukkannya ke dalam lubang tersebut. Aku melihat sekitar. Takut kalau-kalau ada yang melihat gerak-gerik kami. Sebab, meski malam hari, suasana di area peminjaman mobil-mobilan ini tergolong cukup ramai. Ada sekitar empat laki-laki dewasa, selain majikanku, yang tengah mendampingi anak-anak mereka bermain gokart. Majikan laki-laki rupanya mafhum kekhawatiranku. Ia pun kembali ke mobil, mengambil sesuatu, lalu menyerahkannya kepadaku. Ternyata, itu sebuah plastik tebal. Dia lalu memintaku membungkus pistol dengan plastik tersebut. Setelah kubungkus erat, kuletakkan di dalam lubang sesuai perintah majikan laki-laki.
Keringat dingin seketika menetes dari tubuhku. Aku seperti diburu maut. Tetapi juga tidak bisa menolak perintah. Aku gamang dengan tindakanku sendiri. Apakah itu pistol betulan? Mengapa majikan membawa pistol pada saat ingin berlibur seperti hari ini? tanyaku kepada diri sendiri sembari berusaha mengeja apa-apa yang baru saja kulakukan. Aku hanya membungkusnya, lalu meletakkanya ke dalam lubang. Tidak ada kejahatan apa pun. Tidak ada kesalahan apa pun selain menuruti perintah sang raja.
Mobil kembali melaju. Matahari Syiria kurasa begitu menyengat. Hampir sama seperti di Al-Jouf, pikirku. Hanya saja, mentari di sini ditemani dengan pepohonan yang berderet di sepanjang jalan raya. Suasana begitu ramai. Persis seperti di kampungku. Orang-orang bebas berlalu lalang. Ada yang bercadar, dan ada pula yang berpakaian rok mini. Tua-remaja, anak-anak, semua bebas menikmati hangatnya mentari pagi ini.
Mobil kami diminta menepi di sebuah tenda berwarna putih oleh tiga polisi laki-laki berbadan tegap dan berperut buncit. Majikan laki-laki tersenyum kepada mereka, melambaikan tangan, lalu mengucap salam, berusaha tetap bersikap serelaks mungkin. Tak satu pun dari polisi itu menjawab salam majikanku. Mereka hanya sibuk memeriksa seisi mobil, lalu salah satu dari mereka membuka bagasi. Mengeceknya dengan teliti semua barang-barang kami.
Anak-anak meringkuk ketakutan. Sementara majikan perempuan terus saja menggumamkan zikir, dan aku, jantungku berdegup kencang. Berusaha mengatur napas dengan tetap duduk tenang. Ingatanku segera saja menuju peristiwa yang baru beberapa menit kulalui. Apakah ini ada kaitannya dengan pistol yang dibawa majikan dan kukubur di kedalaman pasir Syiria? Batinku terus menerawang. Entahlah. Apa pun alasannya, tugasku kali ini adalah untuk tetap bersikap senormal mungkin. Tidak mencurigakan polisi dengan tindak-tandukku yang tidak perlu. Sebab di kampung kami, berurusan dengan polisi sama saja dengan menghadapi maut. Kesalahan sekecil apa pun akan berakibat fatal. Kalau tidak keluar uang, maka jeruji besi adalah gantinya. Maka, sebisa mungkin, menjauhlah dari mereka. Atau kalau tidak bisa, sebaiknya bersikap pasif saja. Diam. Tutup mulut. Tidak membantah ataupun mendebat. Seolah kita tidak melihat apa pun dan kejadian apa pun. Tetapi, ini di Syria. Di mana ketiga polisi tidak hanya menyampirkan pistol di pinggangnya, tetapi juga senapan panjang dan rompi. Persis seperti di film-film Barat yang sering kutonton di rumah tetangga pada saat libur hari Minggu.