Hari ini tepat dua puluh enam ribu jam lamanya aku berada di Arab Saudi. Tiga tahun aku menunda mimpi. Tiga tahun aku membungkus rapat semua duka. Waktu yang tidak sebentar sama sekali. Waktu yang selalu kuhitung dari detik, menit, hingga jam, dan hari. Waktu yang tidak pernah kuizinkan pergi meski hanya sedetik.
Kontrakku sebetulnya yang tertulis di surat perjanjian hanya dua tahun. Tetapi majikan sengaja memperpanjang kontrakku supaya aku bisa sedikit lebih lama menemani anak-anak setelah sebelumnya meminta izin dan berharap, amat sangat, supaya aku mau tinggal beberapa tahun lagi bersama mereka. Namun, keputusanku sudah bulat: aku ingin segera pulang untuk, terutama menyapa pusara ibuku, dan kuliah. Tak ingin membuat mereka terlalu kecewa, aku pun menawarkan angka satu tahun penambahan kontrak sebagai tanda aku juga ingin terus bersama anak-anak. Setidaknya, aku bisa meninggalkan secuil kenangan manis untuk mereka.
Malam hari di mana esok paginya aku akan pulang, Rahaf, Riyuf, dan Abudi sibuk menata dua koper besar yang akan aku bawa serta pulang ke kampung, sementara aku duduk memperhatikan mereka seraya mengembangkan senyum tak percaya bahwa aku telah melewati proses panjang selama berada di negeri orang. Aku berusaha menajamkan ingatanku atas semua peristiwa yang sudah terjadi tiga tahun ke belakang, bahwa ini bukanlah mimpi. Ini riyalitas. Aku, besok, akan pulang.
Rahaf memasukkan beragam jenis oleh-oleh yang majikanku persiapkan untukku, dan juga untuk orang-orang terkasih di rumah. Ada beragam jenis baju, rok, celana, gamis, selimut tebal, aksesoris perempuan seperti jepit rambut, anting-antingan, gelang, cincin, jam tangan, sandal, sepatu, cangkir dan piring-piringan cantik lagi unik, serta tak lupa aneka kue seperti cokelat, halawah (manisan), air zamzam, dan juga tamer (kurma). Riyuf dan Abudi sibuk membantu Rahaf menata semuanya.
Sementara Muad, sore hari menjelang Magrib diungsikan ke rumah neneknya demi menghindari rasa sedih dan tangis yang berlebihan. Di dalam hati terdalam aku kecewa, karena tak bisa melihatnya untuk terakhir kali.
“Roy, fuluus enti ma'a Baba. Bukroh enti mafi waddi fuluus illa khomsa miyah riyal asayan idza tabgho istari syai' fi thariq,” Roy, uang gajimu masih sama Baba. Besok kamu hanya bawa uang lima ratus riyal untuk membeli sesuatu di jalan, kalau seandainya ada yang ingin kami beli, ujar majikan laki-laki mendekati kami saat aku membersamai anak-anak menata koper.
“Thoyyib,” jawabku.
“Mafi musykilah, hah?” Gak masalah, kan? Majikan laki-laki menegaskan, mungkin supaya aku tak salah mengambil sikap.
“Mafi musykilah, insya Allah,” Gak masalah. Insya Allah, jawabku yakin. Masalah uang memang tidak jadi pikiran buatku. Sebab yang kupikirkan adalah, pulang, kembali ke kampung halaman dan segera menemui pusara Ibu.
“Baqi, usbu, yaumil khamis, ana irsil killah fulus enti fi Indunisi,” Sisanya, seminggu lagi, berarti hari Kamis, aku akan kirim semua gajimu ke Indonesia, terangnya.