Hanya karena Aku Wanita: Tak Berhakkah Aku Punya Cita-Cita?

lina sellin
Chapter #42

#42 Kepulangan yang Berliku


42

Kepulangan yang Berliku

 

Setelah hampir tiga puluh dua jam perjalanan dari Bandara Skaka, transit ke Bandara Abu Dhabi, akhirnya aku sampai di Bandara Soekarno Hatta dengan selamat. Kali itu pukul lima lewat lima belas menit sore hari.

Usai menuruni tangga pesawat, tiba-tiba aku digiring oleh seorang laki-laki paruh baya tak dikenal bersama serombongan yang kuduga adalah tenaga kerja Indonesia sepertiku. Aku menurut saja. Toh sepertinya tidak ada yang protes.

“Mbak Sri,” panggil seorang laki-laki paruh baya mengenakan kemeja hitam bergaris putih.

“Iya, Pak,” jawabku ragu, menembus suara bising para TKI lainnya.

“Mbak Sri masuk rombongan mobil pantura. Bayar lima ratus ribu, ya.”

“Maksudnya, Pak?” tanyaku tak mengerti.

“Iya, jadi ini mobil jemputan seluruh TKI kedatangan hari ini. Nah, nanti Mbak Sri ikut rombongan mobil mikrobus itu,” jawabnya seraya menunjuk ke sebuah mobil mini bus berwarna hitam.

Alih-alih mengikuti arahannya, aku malah melempar tanya, “Bapak tahu dari mana kalau saya orang pantura?”

“Loh-loh, ya tahu semualah, Mbak. Ini tugas kami, sudah koordinasi dengan semua pihak. Jadi Mbak Sri gak usah ragu. Nanti saya kasih kwitansinya kalau Mbak udah bayar,” terangnya, lalu mendekati TKI lain seperti buru-buru. “Kalau nggak mau bayar, ya silakan, Mbak Sri bisa cari kendaraan lain saja. Tapi ya namanya di Bandara seperti ini, pasti gak akan ada, Mbak.”

Wah wah, apakah ini sebentuk ancaman untuk orang-orang sepertiku? Selidikku.

“Bapak tahu alamat saya?” tanyaku menelisik.

“Ya jelas, semua alamat TKI yang masuk daftar jemputan, ada sama saya,” jawabnya ketus. “cuma ya nanti paling Mbak tunjukin aja gangnya, siapa tahu sopirnya gak tau.”

Kupikir, benar juga. Sulit rasanya mencari mobil tumpangan di area bandara. Apalagi aku sama sekali gak tahu seperti apa kabar Indonesia saat ini. Maka, tak mau berpikir terlalu lama, aku pun merogoh tasku, menyerahkan lima lembaran merah kepadanya.

***

Setelah sekitar dua puluh lima menit, mobil jemputan itu keluar dari area bandara dan melaju dengan cepat. Suasana negeriku kali itu tampak tak berbeda dari tiga tahun sebelum aku meninggalkan negeri ini. Bahkan, entah, aku merasa jauh lebih kotor, kumuh, bising, dan ya, tiba-tiba aku membandingkan dengan Arab Saudi, yang jelas saja dipenuhi kerlap-kerlip hiasan kemewahan. Bukan hanya dari segi bangunannya, rumah, mal, atau masjid yang tampak mewah, tapi juga dari segi suasana alamnya. Meski negeriku asri, banyak pepohonan, tapi kurasa, pohon-pohon itu hidup begitu saja dan seperti tidak terawat. Terlebih di sepanjang perjalanan, aku melihat banyak sekali gunungan sampah.

“Mbak,” turun dulu, ujar kenek mengagetkan lamunanku, “Istirahat dulu di rumah makan. Monggo barangkali mau makan atau beli oleh-oleh, Mbak masuk saja ke dalam. Itu temen-temen Mbak udah pada turun duluan.”

“Oh, eh,” aku terkesiap mendapatiku seorang diri di dalam mobil, sementara teman-teman yang lain sudah memasuki rumah makan padang yang terletak persis di pinggir jalan. “Iya, Pak. Aku turun kok,” jawabku kikuk.

Aku pun menuruni mobil lalu masuk ke dalam sebuah rumah makan. Kulihat teman-teman semobilku sudah duduk di satu meja yang sama. Semua terlihat bahagia, dengan tawa cekikikan yang menghiasinya. Awalnya aku ingin sekali gabung bersama mereka, minimal hanya untuk berkenalan. Tapi entah mengapa tiba-tiba kakiku enggan melangkah ke arah mereka. Kaki yang sudah hampir sampai ke meja rombongan itu seketika aku belokkan ke meja yang lain, tak jauh dari meja mereka, lalu duduk menyendiri. Perlahan aku menyantap nasi berlauk rendang di atas piringku yang terasa amat sangat hambar. Entah apa karena memang rasa rendang ini yang kurang enak untuk ukuran harga seratus lima ribu rupiah. Atau mungkin karena hatiku yang tak karuan memikirkan banyak hal. Ada rindu yang ingin segera kutumpahkan. Ada gelisah yang ingin segera kuusaikan. Ada asa yang ingin segera kutunaikan.

“Mbak, ayo kita turun ke bawah,” sapa seorang ibu TKI tiba-tiba menghampiriku.

“Em, mau ngapain ke bawah, Bu?” tanyaku ingin tahu. Aku sangat mafhum kalau para TKI memang SKSD (Sok kenal sok dekat) di mana pun. Maka, aku tak ambil pusing begitu ada seorang ibu menghampiriku lalu mengajakku turun.

“Itu tadi sopir bilang kalau mau beli oleh-oleh, ada di lantai bawah,” jawab si ibu, “sekalian kita salat.”

Betul juga, pikirku. Sejak kedatanganku di bandara, aku dan mungkin semua rombongan belum sempat salat karena terburu-buru agar segera memasuki mobil jemputan. Maka, aku pun bergegas mengikuti ajakan si ibu.

Lihat selengkapnya