Tempat pertama yang kukunjungi selama berada di kampungku adalah kuburan Ibu. Sebuah tempat yang kurindu lebih dari apa pun. Tidak juga keluargaku. Tidak juga teman-temanku. Tidak juga rumahku. Tidak juga kuliahku. Aku hanya ingin memuaskan sebuah rindu yang selama ini kupendam selama puluhan ribu jam.
Maka, apa salahnya kalau hari ini kuputuskan untuk menemui sang sumber segala rindu: Ibu. Mengajaknya berbincang. Mencurahkan segala rasa saat hari-hari panjang berhasil kulalui tanpa kehadirannya. Aku ingin menyombongkan diri di hadapannya bahwa aku sekarang sudah besar. Sudah mampu tak lagi tidur sekamar bersama Ibu. Sudah bisa memasak. Sudah bisa mencuci segunung baju. Sudah bisa menyapu-mengepel. Sudah bisa melakukan segala hal yang dulu tidak pernah bisa kukerjakan.
“Ora usah mana, Nok,” Tidak usah ke sana, Bapak melarangku, “Bokat atine durung kuat,” Barangkali hatimu belum kuat, lanjutnya.
Setelah sekian menit aku berusaha meyakinkan Bapak bahwa aku akan baik-baik saja, akhirnya hati Bapak meluruh. Bapak mengizinkanku untuk menemui Ibu.
“Yawis mana, asal dianter Kang Muh,” Yasudah sana, asalkan diantar Kang Muh, katanya mengizinkan dengan memberi syarat. Kang Muh adalah kakak tertua kami. Dan karenanya, apa pun yang akan dilakukan adik-adiknya tidak pernah lepas dari pengawasannya. Kami selalu di bawah ketiak Kang Muh. Ia seolah dipersiapkan untuk kelak menggantikan peran Bapak. Maka, setiap tindak-tandukku, harus selalu diketahui dan ditemani Kang Muh. Kadang aku merasa risi, tetapi kadang juga aku merasa diuntungkan. Seringnya sih diuntungkan. Karena Kang Muh selalu berusaha menyenangkan adik-adiknya, termasuk aku. Berbeda dengan Bapak. Bapak lebih galak, dan seringnya menolak memberi izin, dengan alasan yang beragam.
***
Kang Muh menunjuk sebuah gunungan tanah sesampainya kami berada di hadapannya. Pohon kambojo yang melabai-lambai di samping batu nisan seolah tengah membujukku untuk segera merunduk ke gundukan tanah itu.
Tak ada kata. Tak ada suara. Aku terus menggedor-gedor pintu hatiku. Menggedor-gedor mulutku supaya segera bersuara. Minimal membaca Surat Yasin seperti yang biasanya dilakukan orang-orang pada saat berkunjung ke makam. Atau, melantunkan doa-doa. Atau paling tidak, memanggil nama-Nya berulang-ulang, zikir, seperti juga yang biasa dilakukan kebanyakan orang.
Tetapi, menit berlalu, dan aku masih saja kelu. Kakiku makin kuat mencengekeram bumi. Tak bisa kugerakkan meski hanya selangkah, untuk pindah sekadar mencari sandaran. Tanganku kebas, meski hanya untuk sekadar merapikan bunga-bunga kamboja yang berguguran di atas gundukan tanah makam Ibu. Sementara itu, hatiku mulai sibuk bergemuruh. Kepalaku ikut mendidih. Nama Ibu yang terpahat abadi di batu nisan seolah mengajakku untuk mengeja huruf demi hurufnya. A-MI-NAH. Itu benar nama ibuku. Tapi, benarkah di dalam lubang ini benar-benar jasad ibuku? Atau, mereka sengaja ingin menyembunyikan Ibu dari segala lukaku?
Butiran bening dari mataku meluruh begitu saja. Kuusap lagi, dan ia kembali luruh. Kuusap lagi, luruh lagi. Sepertinya, mataku memang tak mau diajak bersandiwara untuk menyembunyikan segala luka. Karenanya, cairan jiwa ini terus saja meluruh seolah ingin aku segera memeluk erat jasad Ibu dan menumpahkan sederet kisah panjang yang sudah berhasil kulalui.
Bruk. Gedebuk. Semua gelap. Mataku tak lagi mengeluarkan titisan rindu.