43
Rindu yang Tak Terpuaskan
Tempat pertama yang kukunjungi selama berada di kampungku adalah kuburan Ibu. Sebuah tempat yang kurindu lebih dari apa pun. Tidak juga keluargaku. Tidak juga teman-temanku. Tidak juga rumahku. Tidak juga kuliahku. Aku hanya ingin memuaskan sebuah rindu yang selama ini kupendam selama puluhan ribu jam.
Maka, apa salahnya kalau hari ini kuputuskan untuk menemui sang sumber segala rindu: Ibu. Mengajaknya berbincang. Mencurahkan segala rasa saat hari-hari panjang berhasil kulalui tanpa kehadirannya. Aku ingin menyombongkan diri di hadapannya bahwa aku sekarang sudah besar. Sudah mampu tak lagi tidur sekamar bersama Ibu. Sudah bisa memasak. Sudah bisa mencuci segunung baju. Sudah bisa menyapu-mengepel. Sudah bisa melakukan segala hal yang dulu tidak pernah bisa kukerjakan.
“Ora usah mana, Nok,” Tidak usah ke sana, Bapak melarangku, “Bokat atine durung kuat,” Barangkali hatimu belum kuat, lanjutnya.
Setelah sekian menit aku berusaha meyakinkan Bapak bahwa aku akan baik-baik saja, akhirnya hati Bapak meluruh. Bapak mengizinkanku untuk menemui Ibu.
“Yawis mana, asal dianter Kang Muh,” Yasudah sana, asalkan diantar Kang Muh, katanya mengizinkan dengan memberi syarat. Kang Muh adalah kakak tertua kami. Dan karenanya, apa pun yang akan dilakukan adik-adiknya tidak pernah lepas dari pengawasannya. Kami selalu di bawah ketiak Kang Muh. Ia seolah dipersiapkan untuk kelak menggantikan peran Bapak. Maka, setiap tindak-tandukku, harus selalu diketahui dan ditemani Kang Muh. Kadang aku merasa risi, tetapi kadang juga aku merasa diuntungkan. Seringnya sih diuntungkan. Karena Kang Muh selalu berusaha menyenangkan adik-adiknya, termasuk aku. Berbeda dengan Bapak. Bapak lebih galak, dan seringnya menolak memberi izin, dengan alasan yang beragam.
***
Kang Muh menunjuk sebuah gunungan tanah sesampainya kami berada di hadapannya. Pohon kambojo yang melabai-lambai di samping batu nisan seolah tengah membujukku untuk segera merunduk ke gundukan tanah itu.