Ini adalah hari ketiga aku berada di rumah. Di kampungku, tak ada aktivitas apa pun, kecuali tidur, rebahan, dan tidur lagi. Membosankan juga, pikirku. Maka, setelah dapat izin dari Bapak, aku segera menuju terminal yang letaknya sekitar 2,5 kilometer dari rumahku. Tujuanku kali ini adalah perpustakaan di pusat Kota Cirebon. Satu-satunya perpustakaan terdekat yang bisa diakses paling mudah dari kampungku.
Kususuri jalanan dengan menaiki becak, yang kubayar sepuluh ribu rupiah. Ini jauh lebih mahal dibanding tiga tahun lalu saat pertama kali hendak mondok, yang hanya berbayar tiga ribu rupiah. Lalu, dilanjut menaiki mobil umum jurusan Cirebon kota. Satu-satunya kendaraan andalan bagi warga kampungku saat hendak bepergian ke mana pun.
Tiga puluh menit berlalu. Tibalah aku di depan sebuah gedung tua, yang letaknya persis di depan jalan raya utama. Kakiku mendadak kelu saat hendak memasuki area gedung. Bukan hanya karena bangunannya yang tampak tua, gelap, dan suram, tetapi, bangku panjang yang berderet pun persis seperti film-film horor yang biasa kutonton saat dulu di pondok bersama teman-teman.
“Mau masuk?” tanya seorang perempuan muda berpakaian seragam biru-putih menyapaku.
“Eee, iya,” jawabku singkat. Aku seperti seorang perempuan malang yang tepergok hendak mencuri di sebuah rumah tua.