Sungguh mustahil aku merasa baik-baik saja di tengah kondisi yang membuatku hampir gila. Uang nyaris habis, dan hanya tersisa dua juta kurang seratus ribu. Sementara janjiku, janji pada keluargaku, janji pada ibuku, janji pada teman-temanku, janji pada orang sekampungku, untuk kuliah, harus segera terpenuhi. Aku memutar otak supaya menemukan jalan keluar. Di satu sisi aku memahami betul konsep hidup bahwa guyuran hujan tidaklah akan terjadi sepanjang waktu. Aku juga memahami bahwa teriknya sengatan mentari, juga tak akan terasa selamanya. Namun si sisi lain, aku merasa seperti terombang-ambing oleh arus ombak kehidupan yang siap menggulungku kapan pun. Harus siap menanggung malu. Siap mati.
Maka, aku menerawang jauh, jauh, jauh, hingga rasanya otakku tak lagi bisa berpikir. Seketika aku merasa stuk.
“Yu, main ke sekolah yuk!” ajak Sairah, teman sekelasku dulu sekaligus tetanggaku.
“Mau ngapain?”
“Main aja. Lama ih gak main,” katanya, “kangen guru-guru,” lanjutnya.
Betul juga, pikirku. Daripada di rumah gak ada kegiatan, gak bisa baca buku juga, mending main ke sekolah. Syukur-syukur bisa ketemu guru-guru, atau mungkin teman lama. Atau paling tidak, bisa main ke perpustakaan sekolah. Biasanya, perpus sekolah punya koleksi buku yang jauh lebih banyak dibanding perputakaan milik pemerintah kota. Maka, ku-iya-kan ajakannya.
Sebab, aku dan Sairah memang sama-sama habis merantau jauh. Bila aku pergi ke Arab, Sairah malah memilih ke Batam mengikuti kakaknya yang sudah lebih dulu bekerja di sana sebagai tukang bangunan. Maka, aku yang sedari dulu tak begitu dekat, mendadak begitu akrab dengannya. Kami merasa satu frekuensi. Satu rasa. Satu nasib. Tidak kuliah.
Sekolahku cukup jauh. Berada di pusat kota. Sekolah favorit. Di kampungku hanya ada lima anak yang masuk ke sana, termasuk aku. Itu pun karena jalur beasiswa.
Dua jam kemudian, aku dan Sairah sampai di sekolah. Suasana tampak sepi. Kelas-kelas kosong, tak ada murid yang sedang melakukan aktivitas belajar. Aku dan Sairah melangkah menyusuri setiap ruangan. Kelas, ruang guru, musala, dan baru kutemui dua orang perempuan paruh baya di dalam ruang guru BP. Aku dan Sairah pun menyapanya dengan senyum malu-malu lalu melangkah masuk ke ruangan bercat biru itu saat salah seorang perempuan itu menyapa kami. “Ayo, masuk, sini,” ujarnya akrab.