46
Kabar Tak Terduga
Menunggu waktu selama satu minggu, tujuh hari, untuk kepastian gajiku, itu rasanya seperti menunggu satu abad lamanya. Maka, daripada aku terus dihantui keraguan dan tak ada kepastian apa pun, kupikir, apa salahnya bila sebaiknya aku menghubungi seseorang. Tapi, siapa? Batinku terus mencari jawab.
Setelah berjam-jam aku memikirkan itu, akhirnya ketemu! Aku ingat Bu Fatmah. Sosok yang begitu lama hidup bersama keluarga majikan. Paling tidak, itu yang aku tahu. Bukankah tak ada salahnya bagiku untuk mencoba menghubungi Bu Fatmah. Tapi, menghubungi lewat apa? Bu Fatmah tak punya nomor yang bisa dihubungi. Hanya secarik kertas alamat yang pernah Bu Fatmah tulis lalu kusisipkan di dalam tas Micky Mouse-ku. “Nanti main, yo Rey. Mudah-mudahan ada umur,” begitu pesan Bu Fatmah saat memberikan secarik kertas itu. Maka, kutanya Kang Muh, seberapa jauh jarak antara kampungku ke rumah Bu Fatmah.
“Ya, paling lama tiga jam naik mini bus,” begitu terang Kang Muh.
Tak mau menunggu lebih lama lagi untuk sebuah kepastian dan terus diselimuti rasa penasaran, aku pun bergegas meminta izin pada Bapak untuk menemui Bu Fatmah. Alhamdulillah Bapak setuju. Maka, esoknya, aku ditemani Kang Muh pun menuju Tegal, tepatnya rumah Bu Fatmah.
***
“Bener gak ini rumahnya, Yu?” tanya Kang Muh saat kami berdiri persis di seberang rumah yang kami tuju. Rumah itu kecil, mungkin sekitar tipe 36 rumah subsidi di sebuah perkotaan. Tanpa semen dan cat. Hanya batu bata yang terlihat ditumpuk begitu saja dengan atap dari daun bambu panjang.
“Bu, maaf, permisi,” Kang Muh lalu menyapa seorang ibu tua yang berjalan di depannya. Mungkin karena Kang Muh melihatku hanya diam. “Apa itu rumah Bu Fatmah?” lanjutnya, “yang dulu kerja di Arab.”
“Oh, di sini ndak ada yang namanya Fatmah,” jawab si ibu. “Adanya Fatimah. Fa-ti-mah,” lanjutnya sembari mengeja huruf demi huruf.
“Oh, injih, Bu Fatimah, istrinya Pak Mukimin,” terangku. Aku ingat dulu Bu Fatmah pernah bilang kalau nama sebenarnya adalah Fatimah. Pakai huruf i. Tetapi karena orang Arab tidak bisa memanggilnya dengan Fa-ti-mah, maka ia pun dipanggil Fatmah, dengan menghilangkan huruf i-nya.
“Owalaah, injih, niku griyane,” Oh iya, itu rumahnya, jawab si ibu.
“Bu Fatimahnya masih di Arab atau sudah pulang ya, Bu?” tanya Kang Muh menelisik.