Pukul lima lewat sepuluh menit, aku melangkah seorang diri menuju terminal bus yang jaraknya sekitar dua puluh lima kilometer dari rumahku untuk pergi ke alamat yang diberikan Bu Nur, guru BP yang beberapa hari lalu kutemui di sekolahku dulu, dengan hati tak karuan. Ada satu mimpi yang dibarengi dengan sejuta rasa cemas dan khawatir, juga ragu untuk terus melangkah. Namun di sisi lain, aku menyadari bahwa, sungguh aku tak ingin berakhir di meja pembantu, meski aku tahu pekerjaan apa pun mulia di hadapan Tuhan. Setidaknya, ini bukan masalah tentang status, pekerjaan, atau predikatku. Tapi, ini lebih pada untuk mengubah nasibku, nasib keluargaku, yang sudah turun-temurun mentok diam di kampung halaman untuk menjadi buruh tani. Untuk menjadi pembantu. Untuk menjadi buruh cuci setrika. Untuk menjadi ….
Aku percaya, bahwa dari mulut rahim siapa pun kita lahir, itu bukanlah suatu nasib. Aku, dan semua orang di luar sana masih punya kesempatan yang sama untuk dilahirkan, belajar, lalu tumbuh menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang bisa terhubung dengan alam dan Tuhan, tanpa dibatasi oleh tempurung ketidakadilan hidup. Dan, ini hanya bisa terjadi, salah satunya apabila aku dapat memutus mata rantai kebodohan di dalam keluarga. Kemiskinan hanya bisa diakses lewat jalur pendidikan! Aku harus kuliah! Tekadku bulat, meski kantong kembali melompong.
“Salam, kayfal hal ya. Ayu,” sesosok laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun tiba-tiba menyapaku dengan suara keras saat aku tengah asyik memperhatikan puluhan pamflet yang terpasang berantakan di atas papan mading di tembok gedung Jurusan Bahasa dan Sastra Arab.
“Alhamdulillah, khair,” jawabku singkat.
“Min ayna anti?” Dari mana asalmu?