Hanya karena Aku Wanita: Tak Berhakkah Aku Punya Cita-Cita?

lina sellin
Chapter #50

#50 Tangan-Tangan Tak Terlihat

Setelah melewati proses yang amat sangat panjang, akhirnya hari ini tiba. Hari yang sudah lama sekali aku tunggu dan nantikan. Hari yang sudah kukejar selama dua puluh enam ribu jam. Hari yang tak mungkin mau untuk kutukar dengan emas maupun berlian. Sebuah hari yang kurutuki setiap detiknya sekaligus kuimpikan setiap detak napasku. Hari yang, bisa saja merenggut nyawaku karenanya. Aku, sekarang, jadi seorang mahasiswi. Sebuah status yang kukejar dengan mengorbankan segalanya, termasuk mengorbankan satu-satunya makhluk yang berarti bagiku: Ibu, dan sebagian besar masa remajaku.

Ya Allah, akhirnyaaa, batinku menghela napas lega begitu menginjakkan kaki di depan pintu gerbang kampus. Ada aroma, yang lebih harum dari segala aroma faham (aroma terapi khas negara-negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi) apa pun. Ada bunyi yang teramat merdu melebihi segala merdunya sebuah lagu kehidupan mana pun. Ada kebanggaan menguar di seluruh nadiku. Ada rasa gembira, semangat, haru, dan excited menyelimutiku. Namun, bersamaan dengan semua rasa itu, hatiku terasa tertusuk sembilu. Ada rasa takut yang melebihi rasa takutku pada saat menonton film horor sekalipun. Ada rasa khawatir dan bingung yang menggelayut di dada. Ada rasa gugup yang membuatku ragu.

Ya, mendadak aku ragu melangkah. Semangat empat lima yang kuteriakkan sesaat sebelum aku melangkahkan kaki ke kampus mendadak sirna seketika. Bulu kudukku merinding begitu melihat pemandangan di hadapanku. Lapangan yang luas, gedung-gedung yang menjulang tinggi, dan sekelompok mahasiswa-mahasiswi yang terlihat sedang asyik ngobrol atau sekadar jalan-jalan membuat nyaliku jadi ciut.

Suasana kampus yang begitu ramai dengan ratusan mahasiswa yang baru saja datang sepertiku, tak membuat jiwaku ikut ramai. Aku merasa asing dan sepi. Berkali-kali aku berusaha menggedor-gedor sisi batin terdalamku, tetapi ia masih saja merasa terbuang. Aku masih canggung, meraba-raba langkah, mencoba menyesuaikan diri dengan status baruku. Gedung-gedung kampus yang besar dan tinggi membuatku merasa ditelan olehnya dalam waktu hanya sekejap. Aku hilang. Tak ada suara. Tak ada bunyi langkah kaki. Aku termangu, karena rasa minder yang teramat sangat.

Aku mendadak merasa tidak pantas berada di sini. Berada di tengah-tengah orang pintar. Berada di tengah-tengah orang kaya. Di tengah-tengah orang bersih lagi rapi. Aku seperti sebuah kotoran di tengah tumpukan mutiara. Kotor dan menjijikkan. Ya Allah … siapalah aku? Mungkinkah bisa ada di sebuah kampus ternama? Batinku terus bertanya.

Enam puluh menit aku menyusuri hampir seluruh area kampus. Namun, tak kutemukan juga letak kelas yang aku cari. Aku ingin menjerit. Meronta. Meminta bantuan kepada siapa pun yang berada di sini. Tapi, mulutku kelu. Aku terlalu malu untuk sekadar mengeluarkan suara dan bertanya tentang di mana letak kelasku. Aku seperti anak TK yang baru saja memasuki area sekolah. Bingung luar biasa.

“Masuk aja, Teh,” sapa seseorang di belakangku. Rupanya, ia memperhatikan segala gerak-gerikku. Mungkin dia melihat tindakanku ini lucu sekaligus menggelikan. Seorang perempuan berdiri di depan sebuah pintu kelas dengan tanpa melakukan aktivitas apa pun.

“Eh iya,” jawabku malu.

“Teteh jurusan apa?” tanyanya lagi.

“Aku Bahasa dan Sastra Arab,” jawabku singkat.

“Woaaaaa, kita satu jurusan!” perempuan berkerudung jilboobs itu kemudian mengajakku untuk tos. Sebuah tindakan yang tidak pernah kulakukan. Aku merasa kembali asing. Aneh.

“Yuk, masuk kelas bareng,” ajaknya setelah sebelumnya ia mengenalkan namanya. Ais, begitu ia ingin dipanggil, dan aku pun menurut. Membuntut di belakangnya persis seperti sapi dicucuk hidungnya.

Lihat selengkapnya