Hanya Mimpi

Binti Uti
Chapter #1

Bab 1

Hai kenalin, aku Vrin. Kupikir, perlu kusampaikan dari awal bahwa aku ini tampan. Tampan yang tampan. Bukan ketampanan yang cantik, atau ketampanan yang sekedar enak dipandang. Tapi, ketampanan yang sempurna dari bawah ke atas, dari atas ke bawah. Ketampanan yang "laki". Yang semua orang setuju bahwa tampan itu ya seperti aku ini.

Baiklah, mungkin perlu kujelaskan lebih rinci agar...yah...mungkin lebih afdol saja, agar tidak terkesan aku malas menjelaskan. Jadi, berikut penjelasanku-meski...yah.. masih terlalu sederhana dibanding kenyataannya-: mata biru yang tajam, alis tebal melengkung sempurna, hidung mancung, bibir tebal yang seksi, rahang yang kuat, cambang halus di dagu, badan yang... perlukah kulanjutkan deskripsi ini? Aku takut semakin banyak yang memimpikan diriku karena penjelasan sederhana seperti ini.

Yah...kau taulah...perempuan.

Kalau soal bagaimana berkelasnya penampilanku, maka bayangkan saja seorang tuan muda pewaris perusahaan besar. 

Eits, mungkin ada yang membayangkan pria sekitar umur 35-50 yang masih prima. Oh tidak..tidak...aku masih sangat muda. Dua puluh lima tahun.

Yaps, aku tahu kekagumanmu mulai tumbuh.

Ah, aku jadi ragu untuk menambahkannya. Ya bagaimana lagi aku takut orang-orang awam menganggapku sombong atau flexing atau berlebihan atau narsis. Tapi hei, untuk apa takut kalau itu kebenaran, bukan?

Jadi, begitulah. Pendek kata aku ini idaman para wanita.

Aku tampan. Mapan. Kalau soal inner handsome sih, sebentar. Tergantung konteksnya apa dulu. Kalau soal bertanggung jawab, jelas aku sangat bertanggung jawab terhadap pekerjaanku. Meski, ya, belum masuk daftar orang sukses sebelum 30 tahunnya versi Forbes. Tapi kurasa, okelah. Menjadi orang menengah ke atas, bisa dihitung dengan jari, kan, di negeri ini? Jadi, kuanggap aku sudah cukup layak untuk berbangga diri.

"Bapak Vrin," sebuah panggilan harus memutus ceritaku ini. 

Beberapa ketukan mengiringinya. Ah, mengapa selalu saja ia menyela di waktu yang tidak tepat. Sebentar, ya.

"Masuk."

Seorang gadis masuk. Senyumnya manis sekali. Tubuhnya ramping. Kulitnya putih dan halus. Wajahnya sempurna. Jika sebagai pria akulah tampan, maka dia cantik sebagai wanita. Ia adalah penyedap rasa di tengah pemandangan tumpukan berkas di mejaku saat ini. Inilah alasan bahwa yang bekerja di kantor ini harus goodlooking.

Oh, aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya sekretarisku jerawatan atau badannya tidak proposional. Bisa jadi kantor ini harus direnovasi berulang kali karena pastinya aku akan mengamuk setiap hari.

Ketukan high heelnya menggema dengan indah, mengalun bersama kaki putihnya yang jenjang. Rok mini hitam yang dipakainya menambah kontras yang serasi.

Ketika ia berhenti di depan mejaku, tercium aroma parfum berkelas. Aku selalu memperhatikan ini. Pegawaiku sama saja cerminan diriku. Aku tak mau mereka terlihat murahan, dari hal apapun. Dan, sekretaris yang satu ini, meskipun baru bekerja beberapa hari, bisa dengan cepat mengetahui seleraku. Termasuk apa saja parfum yang kusukai, berapa sendok gula dalam tehku, atau bagaimana meracik kopi kesukaanku.

"Ini dokumen keuangan yang anda minta, Pak."

Dengan sopan ia menyerahkan berkas dokumen kepadaku. Aku membuka dan melihatnya dengan cermat. Aku meliriknya.

"Kau kerjakan ini hanya dalam waktu pagi ini?"

"Ya Pak."

Itulah. Inilah yang kumaksud selera tinggiku. Tidak hanya cantik. Tapi juga "sempurna". Cerdas dan cekatan. Aku suka dia.

"Bagus, aku menyukaimu."

Dan...lihatlah...dia tersipu dalam wajah formalnya! Pesonaku, benar-benar! Hei, wanita, apakah kau begitu lemah menghadapi laki-laki sepertiku? 

Jiwa pemburu dalam diriku perlahan bangkit. Aku tak bisa membiarkan berlian ini berdebu kesepian karena memimpikan diriku. Atau merasa rendah diri hanya karena seorang sekretaris. Tidak, gadis, aku tidak akan sekejam itu. Tak ada yang boleh meratap hanya karena aku berprinsip satu wanita dalam hidup. Mungkin, suatu saat, aku harus memilih satu wanita untuk memenuhi kewajaran sebagai orang berbudaya ketimuran. Tapi, sampai kapan pun, aku tak sanggup mematahkan ribuan gadis cantik seperti itu. Tidak akan.

"Kau senggang malam nanti?"

Kulihat kekagetan di matanya. Bukan kaget yang kaget. Ck, siapa sih, di kantor ini yang tidak tahu rumorku. Kekagetannya mungkin lebih seperti "eh, secepat ini?"

"Jangan berpikir macam-macam. Aku hanya ingin mengajakmu makan malam untuk membicarakan proyek yang di Singapura itu. CV mu menunjukkan kau pernah bekerja di sana. Jam kantor sudah habis untuk pekerjaan rutinmu, bukan? Jadi kuajak kau makan malam untuk mendengar pendapatmu lebih dalam lagi."

Kurasa, aku mendengar ia menghela nafas perlahan. Mungkin, dia lega. Atau, kecewa? Hei, hei, jangan putus asa dulu. Permainan belum dimulai.

"Jadi, kita akan langsung pergi setelah menyelesaikan semua pekerjaan ini. Dan terima kasih atas laporan keuanganmu. Ini sempurna."

Lihat selengkapnya