Teriakanku terdengar parau. Tapi tentu saja tak bisa membantu apapun. Tak ada hukum berlaku hari ini. Meskipun mereka membunuhku, memotong dan menggiliingku jadi debu.
Gerombolan laki-laki itu dengan pasti menuju ke arahku. Kebanyakan dari mereka bertubuh gempal, kulit coklat gelap terbakar matahari dengan tinggi bervariasi. Di tangan mereka ada batu, balok kayu, dan senjata tajam yang bermacam-macam.
Apapun bisa dilakukan mereka kepadaku.
Mereka semakin mendekatiku. Aku ingin berlari tapi tubuhku kelu, bergetar dengan hebat.
Tuhan, kumohon tolong aku. Kumohon selamatkan aku dan bayiku dari sini.
Apa yang kudekap di dadaku menggeliat hebat. Tangisannya kian menjadi. Key, bayi laki-lakiku yang baru berusia dua minggu
Dia kedekap erat sekali. Aku tak peduli dia kesulitan bernafas.
Suaranya yang menangis begitu keras, yang biasanya orang sekampung mendengarnya, kini suaranya ditelan gemuruh kekacauan yang belum pernah kudengar seumur hidupku
Suara pekikan "reformasi" telah menghilang sepenuhnya diganti dengan jeritan, suara pukulan, benda-benda keras beradu, teriakan, dan entahlah.
Air mataku mengalir deras. Seumur hidup aku belum pernah setakut ini. Apalagi melihat mereka mendekat dengan seringai.
Hidupku...hidup yang ada di dalam dekapanku.
Tapi tubuhku kaku tak bisa digerakkan.
Ketika aku merunduk untuk melindungi bayiku, tiba-tiba ada tangan yang meraih lenganku, menarikku pergi, lalu berlari.
Aku tak bisa berpikir apa-apa lagi. Yang kutahu tubuhku mengikutinya. Aku mendekap bayiku semakin erat.
Dalam sudut mataku, aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Baru kali ini aku melihat, mendengar, merasakan kengerian begitu hebat.
Mereka manusia bukan? Mengapa bisa memukul sesama manusia seperti itu? Mengapa mereka bisa menghancurkan toko seperti kesurupan? Mengapa mereka menyulut api dengan begitu bangga? Untuk pertama kalinya, aku melihat manusia bisa menjadi bukan manusia.
Kupikir semua hanya dongeng semata. Cerita-cerita yang kuanggap angin lalu, kini tepat berada di depan mataku. Ternyata para pencerita itu tidak berlebihan. Apa yang selama ini ada di layar televisi, memang benar-benar terjadi. Dan, ternyata memang benar manusia dapat lupa bagaimana seharusnya menjadi manusia.
Aku tersandung, jatuh, dan bangun lagi beberapa kali. Para pengejar itu sangat kekeh tidak melepaskan kami.
Hingga kami menemui jalan buntu. Oh tidak, habislah kali ini!
Aku tak sempat merasa ketakutan, sudah ada yang melepas genggaman penolongku dari lenganku.
Lalu ada yang mencengkeram bahuku dengan keras. Terdengar pukulan membabi buta yang dilayangkan kepada penolongku.
Aku menangis dengan keras. Bayiku juga.
"Hei China! Masih berani yang berkeliaran?"
Lalu seseorang menampar pipiku. Mereka hendak memisahkanku dengan bayiku. Sekuat tenaga aku mempertahankannya. Aku tidak akan menyerahkannya meski harus mengorbanlan nyawaku. Tidak akan.
"Bu..bukan China..."
Aku mendengar penolongku berkata di sela-sela gedebug pukulan.
Seseorang menarik kerah bajunya dan memaksanya untuk berdiri tegak.
Aku menjerit ngeri. Memejamkan mata karena ngeri melihatnya. Wajahnya berdarah banyak sekali.
"Berani kau melawan!"
"Dia...orang jawa...dia istriku," katanya.
Mereka beralih melihatku. Mengamatiku. Lalu tertawa terbahak-bahak.
"Hei...hitam! Jangan mengarang ya. Mana mungkin bos China sepertinya mau sama pribumi hitam macam kau ini."
"Benar...dia orang Jawa," sahutnya parau.
Aku tak bisa memikirkan ide darimana itu berasal. Tak akan ada yang menganggapku orang Jawa dengan rupa seperti ini. Mata sipit dan kulit putih. Tapi kuturuti saja perkataannya.
Aku menjawab dengan terbata,"A...ku...wong Jowo." Aku menirukan bahasa orang Jawa yang kadang kudengar di pasar.
"Hahahahahaha!"
"Lucu sekali kalian ini!"
"Teruskan"
Gedebug pukulan terdengar lagi. Tangan-tangan yang menyentuhku semakin banyak. Aku menjerit-jerit ketika mereka berhasil merampas Key. Tubuhku ikut menjerit ketika mereka berhasil mengoyak bajuku. Menggodaku dengan cara yang sangat menjijikkan. Tertawa-tawa puas ketika berhasil membuatku menjerit lebih keras, meludah dengan lebih kencang.
Kata-kata penolongku semakin memelas,"Tolong...tolong...jangan sentuh dia...dia istriku. Aku...orang asli..tolong...dia bukan China dan anakku bukan China. Tolong..."
Penolongku terus meracau. Aku tak bisa berpikir banyak dan menirukan apa yang dia katakan.
"Aku bukan orang China!"teriakku putus asa.
Kami begitu selama beberapa waktu.
Aku tak tahu pasti apa yang terjadi. Sepertinya pukulan para setan itu membuat baju penolongku tersingkap hingga melihat ada tatto di punggungnya.
Dan.. ajaib...mereka berhenti!
"Ah sudahlah. Geng dia nanti balas dendam. Ayo pergi. Cari yang lain!" Sambil menunjuk ke orang yang menolongku.
Mereka meninggalkan kami dengan mengeluarkan semua sumpah serapah menjijikkan, tanpa lupa meludah di mukaku.
Untuk sementara aku hanya bisa berpikir menyelamatkan Key, yang sekarang digeletakkan begitu saja. Yang membuatku lega adalah tangisannya. Ada tangisan berarti dia masih hidup. AKu mendekapnya, lalu berlari menghampiri penolongku.
Aku ketakutan jika terjadi sesuatu yang mengerikan kepadanya. Dia bukan siapa-siapa dan kini ia menderita karena menyelamatkan ibu dan anak tak dikenal.
Aku jongkok di dekatnya dan hatiku hancur berkeping-keping. Wajahnya berdarah-darah. Badannnya kotor, penuh luka, lebam-lebam, dan berdarah dimana-mana. Bau anyir darah memenuhi hidungku.
"Bisa berdiri, Bang?" tanyaku. Ternyata mengeluarkan kalimat sesingkat ini begitu berat setelah dicekik.
Dia mengangguk lemah, melirikku, lalu berpaling dengan susah payah. Tangannya bergetar ketika mengangkat tangan, kemudian telunjuknya mengarah ke badanku.
Aku mulanya tak mengerti. Tapi aku melihat juga arah telunjuknya. Aku melihat badanku, dan seketika mengerti.
Bajuku tak lagi berada di tempat semestinya. Aku tak memperhatikan ketika berlari ke arah bayiku dan ke tempat penolongku. Pada waktu seperti ini mana sempat berpikir apakah berbaju atau tidak. Masih hidup saja merupakan berkah tidak terkira.
Aku pun segera membenahi bajuku sebisanya karena telah robek. Tapi paling tidak aku terlihat memakai baju.
Setelah kupikir cukup, dengan satu tangan aku membantunya berdiri. Lalu kutuntun dia pelan-pelan. Aku memandang ke sekitar dengan ketakutan.
Kami keluar dari gang dan memasuki sebuah kompleks perumahan. Tapi kondisi perumahan ini begitu sepi. Semua pintu tertutup rapat. Mungkin seperti rumahku juga, yang sekarang kosong kutinggalkan.
Isu kerusuhan telah menyebar beberapa jam sebelumnya. Aku terjebak di kerusuhan pun karena ingin menyelamatkan diri, ingin mengejar bus terakhir untuk ke pergi kota lain. Tapi apa daya, tidak ada kendaraan umum yang dapat membawaku ke terminal. Hingga aku harus berjalan sampai akhirnya malah menemui kerusuhan yang ingin kuhindari.
Pada beberapa rumah kutemukan berornamen China. Kuharap penghuninya sudah melarikan diri. Aku tak mau mereka mengalami nasib sepertiku.
Di belakang, aku mendengar suara kerusuhan semakin dekat. Asap hitam semakin tebal membumbung ke angkasa. Bau kebakaran semakin menyengat.
Aku menemukan sebuah rumah dengan pagar yang tidak menutup. Ada sandal yang berserakan di halamannya yang kecil tapi penuh dengan pot-pot tanaman hias. Ada pot yang sepertinya jatuh di jalan semen kecil yang menuju pintu. Ada ornamen tulisan mandarin dinding seelah kiri pintu. Pintunya tertutup rapat, tapi jendelanya masih terbuka lebar. Aku memperkirakan penghuninya pergi terburu-buru.
"Ayo kita bersembunyi di sana."kataku sambil menunjuk.
Dia mengamati rumah itu sejenak. Lalu menoleh ke belakang. Kami sama-sama tahu, hanya masalah waktu kerusuhan akan mencapai perumahan ini. Tapi memang tak ada pilihan bagi kami. Tak ada telepon umum, tak ada orang yang dapat dimintai tolong. Kami sama-sama terluka parah sehingga tidak bisa berlari.
Dia mengangguk lemah. Kami berjalan secepat yang kami bisa. Masuk dengan susah payah melalui jendela. Kututup pagar dan jendela dengan rapat. Aku berlari ke ruangan paling belakang. Key masih menangis meskipun tidak sekeras tadi. Hanya saja aku berjaga-jaga agar tidak terdengar dari luar.
Tapi rumah ini benar-benar kecil. Sepertinya suara Key masih terdengar ke luar sana. Aku pun terpaksa menyumpal mulut Key dengan kain.
Penolongku menghampiri kami dan menunjuk ke arah tangga.
"Tangga. Naik saja."
Rumah ini ternyata dua lantai. aku tak memperhatikan ketika di luar tadi. Aku menuruti sarannya dan naik ke atas.