Jantungku berhenti berdetak. Semua menggelap di mataku. Kesadaranku dengan cepat menghilang. Mati aku. Mati aku.
Secara refleks paru-paruku menyedot udara dengan keras. Sekeras mungkin aku membentak semua organ di tubuhku. "Tidak boleh mati. Bangun! Cepat Bangun! Buka mata!"
Aku tak berharap banyak. Tapi pada kesempatan terakhir mataku mendadak terbuka. Terengah-engah dengan ganas. Mulutku membuka menyedot sebanyak-banyaknya oksidegn. Aku tak mau tahu apakah ini surga atau neraka. Ataukah ini baru hari kebangkitan. Semua tulang terasa remuk. Pokoknya dadaku sakit. Jantungku sakit. Sekujur tubuhku sakit.
Mereka meronta meminta oksigen. Aku mengumpulkannya sebanyak mungkin. Begitu terus sampai perlahan rasa sakit itu sedikit demi sedikit menghilang. Nafasku perlahan mulai teratur.
Aku pun mulai mengedarkan pandangan, bersiap melihat malaikat yang menyilaukan dan tersenyum meneduhkan. Atau malaikat yang membakar dan memegang cambuk. Atau manusia-manusia polos tak berbaju yang baru dibangkitkan kembali.
Siluet sosok-sosok manusia menyebar di seluruh ruangan. Mereka memakai jas warna-warni, memakai ikat kepala dengan tulisan "Reformasi", dan mengepalkan tangan. Mereka diam membisu, tapi Terdengar suara bergemuruh. "Reformasi! Reformasi!"
Aku berusaha mengurai semuanya. Siapakah aku? Ada dimana aku?
Aku menunduk, mengamati tubuhku. Jas klimis dan celana yang kini tak rapi lagi. Aku meraba kepalaku, dan mendapati aku berambut pendek. Sebentar. Apakah aku laki-laki?
Aku menoleh dan melihat kembali dimana aku berbaring. Aku ada di lantai yang empukberlapis karpet tebal. Apakah aku dibangkitkan di sini? Dimanakah aku?
Ah, kepalaku. Tiba-tiba berkelebat ingatan-ingatan lain, yang menyadarkanku bahwa itulah sebenarnya diriku. Aku adalah laki-laki ini.
Perempuan yang mendekap bayi. Kerusuhan. Pelecehan. Menjatuhkan diri dari balkon. Aku baru saja mengalaminya!
Tapi sekarang aku ada di sini. Dan aku sekarang laki-laki! Semua yang kualami baru saja ternyata hanya mimpi. Ya, hanya mimpi.
Oh, Tuhan. Jadi semua itu hanya mimpi? Mengapa semua terasa begitu nyata. Mengerikan sekali.
Dadaku disiram dengan perasaan lega. Kehidupan perempuan itu begitu mengerikan. Untung saja semua itu hanya mimpi.
"Sudah bangun, Kak?"
Aku dikejutkan oleh suara lembut seorang gadis yang memakai pakaian resmi. Ia memakai parfum murahan yang takkan pernah kuijinkan ada di kantorku.
Aku menganggguk dan hendak bertanya dimana aku. Tapi ia segera menimpali, "Sekarang, anda sedang berada di Museum Mimpi. Baru saja melewati satu malam menjadi seorang relawan kemanusiaan bernama Ollie pada tahun 1998."
Aku tidak mengerti satu pun apa yang ia katakan. Museum mimpi? Relawan Kemanusiaan? 1998? Lelucon macam apa itu?
Rupanya ekspresiku tidak terlalu ia amati.
Senyumnya sangat nyata dibuat-buat. Kata-katanya teratur dan lebih seperti menuruti SOP daripada benar-benar ingin berbicara, ia meletakkan seperangkat alat mandi dan baju ganti seadanya. Setelah ia mengatakan dimana aku bisa beristirahat dan mandi, ia pergi begitu saja.
Bah, tempat apa ini? Bagaimana mereka melatih karyawan. Dan bagaimana mereka mengelola tempat ini, sungguh-sungguh mengerikan. Aku lebih baik mati daripada mempunyai tempat seperti ini.
Aku pun bangkit dan menuju ke tempat yang ia katakan, tapi, tungggu. Tunggu dulu. Kilasan ingatan tadi malam mengentikan langkahku. Wanita yang membawaku semalam adalah....
Kurang ajar! Aku mengepalkan kedua tanganku. Aku tak jadi mandi Dengan membabi buta aku mencari siapa pun yang bisa kutemui.
Aku tidak menyadari benar bahwa ini telah pagi. Karena aku melewati ruangan demi ruangan yang aneh dan mengerikan. Yang diatur sedemikian rupa tak memperhatikan di luar malam atau siang. Setiap ruangan punya waktunya sendiri. Ada yang malam hari. Ada yang siang hari.
Tadi malam aku tidak begitu menyadarinya karena tertutup oleh gairahku yang sialnya terpancing oleh gadis murahan! Pada saat ini, aku marah pada diriku sendiri.
Aku terus berjalan, menoleh ke sana sini. Dalam amarah yang hampir saja tak bisa lagi kutahan, aku harus bisa membedakan semua manekin yang kulewati benar bukan manusia.
Tempat ini semacam diorama raksasa, dimana kita bisa berada di antara manekin-manekinnya. Kita merasa benar-benar dibawa ke suasana ruangan itu. Aku memperkirakan diorama-diorama raksasa ini dibuat berdasarkan sejarah negeri ini. Di antaranya sebelum kemerdekaan, dan diantaranya setelah kemerdekaan. Aku melewati banyak sekali patung yang didandani dari berbagai era. Mendengar suara dari dentuman senjata sampai dengan perdebatan yang terdengar sangat idealis.
Tempat gila macam apa ini? Mengapa orang harus repot-repot mengingat masa lalu mengerikan seperti ini? Untuk apa menghamburkan uang untuk usaha seperti ini. Lebih baik membuka lahan dan menanaminya sawit. Atau membikin tempat hiburan yang sudah pasti menghasilkan uang berlipat-lipat daripada usaha aneh ini.
Akhirnya aku menemukan manusia hidup. Dia berada di balik meja tinggi yang bertuliskan resepsionis. Kali ini aku menyadari waktu telah beranjak siang dari cahaya matahari yang masuk melalui pintu kaca.
Aku menghampirinya. Aku mual melihat penampilannya. Seorang wanita, ah, aku tidak menganggapnya wanita. Sebut saja ia manusia, karena aku bahkan tak akan menyentuhnya meskipun ia menggodaku dengan cara paling ekstrim.
Kukira bagian dalam sudah cukup parah. Ternyata tempat ini memang hancur dari depan hingga belakang.