Seperti ada sebongkah es di dalam dada. Es itu mencair dan meluber lewat mata, menjadi air mata. Mengalir lembut melewati pipi.
Aku membuka mata, tapi aku sudah kelelahan. Untuk apa kubuka mataku jika tak ada harapan lagi untukku.
Aku menegakkan tubuhku. Ah, Sial! Mengapa aku harus bermimpi lagi menjalani kehidupan wanita malang itu.
Ini benar-benar rasa yang tidak nyaman. Ya, aku memang kesulitan tidur karena khawatir dengan berbagai hal tentang pekerjaanku, tentang keluargaku, tentang segala resiko yang harus kuambil yang berkenaan dengan keputusanku, tapi bangun dengan kondisi putus harapan bukanlah diriku.
Aku selalu bangun dengan kepercayaan diri yang tak tertandingi. Aku memilki segalanya. Untuk apa aku harus putus harapan. Jika memang ada hal terburuk, aku yakin dengan karakterku aku ini. Aku ini dilahirkan sebagai singa. Sebagai predator, aku pasti mampu kembali di puncak rantai makanan.
Ah, ya, perempuan itu menyebut diirinya sendiri sebagai rusa. Bagaimana ia menyalahkan Tuhan, tapi kemudian menarik tuntutannya dan merasa bahwa ia menuntut sesuatu yang wajar.
Untuk apa dia membuang-buang waktu seperti itu. Ia punya bayi. Tak seharusnya ia seputus asa itu.
Dan. Kerusuhan 1998 itu, kuakui itu memang sesuatu yang wajar ada di dunia ini. Seperti perburuan singa dan rusa. Baiklah, bagi rusa hal itu adalah hal besar, hal mengerikan. Tapi bagi singa? Lebih-lebih bagi dunia? Hal itu sebuah kewajaran, untuk merombak rezim yang dianggap tidak lagi sesuai zaman. Semua perubahan memang tidak nyaman. Apalagi melawan rezim otoriter. Semua butuh pengorbanan.
Lihatlah sekarang arti gonjang-ganjing itu. Kini semua menjadi lebih baik, bukan?
Kata orang sih, begitu. Aku baru lahir di tahun itu. Mana mungkin aku dapat berpendapat bahwa sekarang lebih baik daripada jaman sebelum kelahiranku.
Aku menghapus air mataku, membersihkan perasaan ganjil yang tersisa. Aku tidak boleh buang-buang waktu lagi. Persetan dengan kehidupan orang ini. Toh, semua sudah berlalu.
Aku kembali mengingat gadis kurang ajar itu, dialah yang membawa mimpi itu ke dalam tidurku. Aku akan mengejarnya dan memberinya pelajaran. Dia adalah rusa yang sedang mengibas-ngibaskan ekornya ke arahku. Tunggu saja, rusa kecil. Aku akan memburumu untuk membunuhmu pelan-pelan.
Oh ya, tentu aku akan kembali ke museum sialan itu. Aku akan menuntutnya dengan kesalahan sekecil apapun. Apalagi dengan kembalinya mimpi itu padaku. Dalam surat pernyataan itu mereka hanya menyebutkan pelanggan hanya akan bermimpi satu malam. Aku akan menuntut mereka.
Aku merah telepon selulerku dan menelepon Ranji.
"Sekalian selidiki museum mimpi yang ada di jalan Harapan. Cari kesalahan mereka sekecil apapun. Siapkan tuntutan agar mereka bisa tutup. Atau cari cara menjatuhkan museum itu."
"Baik, Pak."
"Sebelumnya, suruh salah satu siapapun yang ada di sana untuk menghilangkan efek mimpi itu. Harus. Kalau tidak aku akan membuat museum itu viral dan dihujat masyarakat."
"Baik, Pak."
"Ada perkembangan dari detektif itu?"