Hanya Mimpi

Binti Uti
Chapter #6

Bab 6

Kubuka mata. Aku bermimpi menjadi dirnya lagi?

Aku sebenarnya cukup menyukai kehidupannya. Hanya saja, mengapa aku harus menjadi dirinya saat ada masalah pelik?

Dan hey, kenapa pula pemuda itu sok menggurui perasaanku. Tentang rusa dan singa.

Ah, sudahlah.

Mimpi hanyalah mimpi. Sekarang aku kembali kepada kenyataan.

Sesuai membersihkan diri dan makan, aku hendak keluar untuk berjalan-jalan. Bayiku masih diasuh oleh MpokĀ Asri demi keselamatan.

Sebenarnya perasaanku berat mempercayakannya kepada orang lain tapi aku tak bisa memungkiri kondisiku saat ini tidak mampu bahkan untuk melindungi diriku sendiri.

Ketika aku sampai di ambang pintu, aku dicegat oleh Bu Ahmad.

"Jangan keluar, Ci."

Oh, ini lagi?

Apakah aku harus terkurung lagi demi keselamatan?

"Sepertinya ada orang yang mengawasi tempat ini."

Pak Haji menunjukkan tempat untuk mengintip yaitu di dekat jendela.

"Itu, orang-orang yang ngrokok dan kelihatan sedang nongkrong."

Aku mengawasi mereka lebih detil. Bukan bentukan para preman yang mengejarku kemarin . Mereka sepertinya lebih terorganisir.

"Kita tak tahu siapa mereka," ujar Babe Ahmad dengan volume rendah.

"Apakah mereka petugas?"

Pak Haji menoleh menatapku.

"Tapi apa hubungannya dengan Ci Ollie? Kan bukan aktivis. Ngapain dikejar petugas?"

Aku tidak menjawabnya karena aku menangkap orang lain yang nampak serupa di sisi lain.

"Rumah ini sudah dikepung, Pak."

"Iya, Ci. Apa sebenarnya mereka itu ditugaskan untuk menjaga kita?"

Aku menggeleng pelan tanda tidak tahu.

Dengan keambiguan ini aku tidak bisa kemana pun. Aku tidak tahu mereka ada di pihak mana. Terpaksa aku memang harus mendekam di dalam rumah ini.

Aku kembali ke dalam dan duduk di ruang tamu. Bu Ahmad masuk dengan membawa senampan teh hangat dan camilan.

"Sudah...sudah...sementara di dalam dulu saja. Nanti biar saya yang cari info," ujar Bu Ahmad menenangkan kami.

Setelah menyeruput teh, Bu Ahmad bertanya kepadaku,"Tidurnya nyenyak, kan Ci?"

Aku teringat mimpi anehku lagi.

"Nyenyak kok, bu," jawabku sekenanya.

Seharusnya aku tidak tidur nyenyak, karena tubuhku untuk bergerak pun terasa sakit. Aku baru menyadari sesuatu. Aku tertidur dengan baik ketika bermimpi dengan kehidupan pemuda kaya itu. Bukan tidur yang nyenyak, tapi paling tidak aku tidak gelisah atau terbangun beberapa kali setiap malam.

"Punya saudara yang dapat dihubungi nggak? Kami bisa menelepon lewat tetangga."

Aku menggeleng. Memang tidak ada satu pun. Orang tuaku sudah meninggal, dan karena hubungan mereka tidak pernah baik dengan keluarg besar, maka jadilah aku sebatang kara. Bahkan pada saat pernikahan pun, hanya ada ayah dan ibuku.

"Baiklah kalau begitu. Sekarang yang penting Ci Ollie sembuh saja dulu. Jangan pikirkan macam-macam."

Aku mengangguk lagi, tanpa mengucap apapun. Lalu terdiam. Pikiranku melanglang entah kemana.

Aku ingin melarikan diri dari dunia ini.

Lihat selengkapnya