Hanya Mimpi

Binti Uti
Chapter #7

Bab 7

Tidak, tolong. Lepaskan aku dari rasa sakit ini. Tolong. Tolong. Tuhan. Tuhan, cepat ambil nyawaku. Tuhan baik, Tuhan baik. Aku tenggelam dalam rasa sakit, semua menggelap, dan mataku terbuka lebar.

Lalu menyipit lagi karena cahaya yang terlalu menyilaukan. Nafasku terengah. Dimana aku? Apakah aku sudah mati? Rasa sakit itu degan cepat menghilang.

Perlahan kubuka mataku. Aku berada di sebuah ruangan...

Sial! B*****t!

Kalau mau mati, mati saja sana sendiri! Jangan bawa-bawa orang lain!

A****g!

Emak-emak labil!

Mana yang dibilang pahlawan 1998! Tak lebih dari wanita cengeng tak berguna konyol bodoh sempit pemikiran! Ada jutaan orang lebih sengsara daripadanya.

Korban perang. Tawanan perang. Budak. Korban penjualan manusia. Pengungsi yang terombang-ambing di samudra. Dan siapa itu buruh yang disiksa sebelum meninggal?

Ada pula yang sakit menahun dalam siksaan.

Mereka berjuang hidup, meski tahu tak punya kesempatan lagi. Tak ada harapan lagi.

Dan..dan...ah, aku tak sanggup berkata-kata lagi. Ia punya bayi. Punya dua tangan dua kaki. Tidak ada penyakit yang menggerogotinya. Tidak gila. Tidak ada jeruji besi di sekelilingnya.

Dan jaman itu, di waktu yang sama ketika ia hidup, di waktu ia merasa menjadi manusia paling sengsara di muka bumi, para aktivis sedang berada di atas balok es, dipukul, disiksa berjam-jam tanpa ampun. Semua demi apa? Demi dia dan anaknya! Dan orang yang diperjuangkan malah memilih...mati?

Demi Indonesia tanpa diskriminasi. Indonesia tanpa ancaman. Mengembalikan negara ini kepada rakyat. Bukan kepada para segelintir elit di atasmu, wahai Ollie!

Korban? Jelas ada. Tak mungkin ada perubahan tanpa perjuangan. Kau pikir ini surga?

Dan hei, katanya surga pun juga harus diperjuangkan.

Aku membasuh mukaku dan mengamati mukaku yang tampan di cermin. Gara-gara wanita itu, aku harus terbangun dengan muka seperti bangkit dari kematian.

Ia membawaku bunuh diri juga. Aku merasakan apa yang ia rasakan. Itu rasa yang paling parah yang pernah kurasakan. Benar-benar kurang ajar dia!

Aku memang pandai menyumpah. Tapi baru kali ini aku menyumpah seperti penyanyi rap setelah bangun tidur.

Aku tahu sekarang dia juga menjadi aku saat ini. Dia bahkan ingin tidur dan lari di kehidupanku. Bah! Jangan harap aku akan memberimu pelarian yang baik.

Aku mengacungkan jari telunjukku ke cermin,"Eh Ollie, dengar, ya! Aku akan membawamu pergi ke tempat yang dapat menyiksamu! Rasakan!"

Ah! Iya! Bukankah dia sudah mati?

Ketika kesadaran itu melingkupiku, aku menyeringai di cermin. Dengan demikian aku takkan lagi bermimpi menjalani kehidupan orang lain lagi.

Bukannya, aku tak berusaha. Aku sudah berusaha menghilangkan mimpi ini. Tapi apa kau tahu sesuatu yang mengejutkan?

Tempat itu tidak ada. Tidak ditemukan. Baik di tempat sebenarnya atau di dunia maya. Kedua gedung yang berada di samping kanan dan kiri museum itu berdempetan, hanya ada celah untuk pagar dan sedikit ruang untuk taman. Bisa dibilang gedung itu hilang. Ah tidak hanya hilang, tapi seperti diselipkan di antara kedua gedung, lalu diambil lagi. Kelakar macam apa itu.

Saat dicari dimana karyawan dan orang yang bertanggung jawab tempat itu, tak ada informasi satu pun. Mereka tidak ada di catatan mana pun. Di catatan pemerintah, di tempat-tempat elit atas, di tempat-tempat kumuh, di tempat-tempat semacam pasar gelap, dan tempat-tempat yang tidak pernah kau bayangkan akan ada di dunia ini. Bahkan ketika mewawancarai orang sekitar situ, netizen yang terhormat, tak ada satu pun dari mereka yang pernah mendengar ada tempat itu.

Gila, kan?

Lihat selengkapnya