Aku membuka mata, dan tiba-tiba aku tak tahu harus bertanya apa.
Langit-langit yang tampak putih. Orang berlalu lalang. Ranjang-ranjang yang diisi orang-orang berbaring. Bau tajam antara darah, keringat, dan obat yang begitu menyengat. suara mengaduh, teriakan, dan kata-kata biasa tapi saat ini aku tak mengerti artinya.
"Ci Ollei! Suster, dia sudah bangun!"
Sepasang mata sekonyong-konyong berada di atas kepalaku.
"Alhamdulillah. Alhamdulillah," ucapnya. Terlihat sangat senang dan bersyukur.
Seorang perempuan muda menghampiriku, lalu entah apa yang dia lakukan terhadap tubuhku. Aku tak bisa melawan. Mengangkat tangan pun seperti mau angkat besi kelas berat. Ketika mencoba membuka mulut, tak ada yang keluar dari mulutku.
Perempuan muda bertopi putih itu tersenyum singkat, dan mengatakan kalimat yang biasa tapi aku tidak tahu artinya.
Ia bertanya padaku. Tapi aku tak bisa menjawabnya.
Lalu ia mengatakan beberapa hal kepada wanita paruh baya yang sepertinya menemaniku.
Wanita yang sepasang matanya menatapku tadi berkata lagi,
"Sebentar lagi pindah bangsal, Ci. sabar, ya."
Aku tak mengerti ia berkata apa. Aku pun tak mengerti mengapa aku tiba-tiba ada di sini. Bukankah aku baru saja akan mencari Cinderella?
Ada hal genting yang harus segera kulakukan, mengapa aku harus terjebak di sini, dan tiba-tiba aku tidak apapun?
Tiba-tiba ranjang di sampingku diisi oleh seorang anak...laki-laki? Atau Perempuan? Entah. Sepertinya dia baru saja disiksa di neraka. Hampir sekujur tubuhnya melepuh.
Secara tiba-tiba, aku teringat sesuatu, mengalahkan cinderellaku.
Bukankah aku telah bunuh diri! Aku meminum cairan pemutih! Aku telah mati! Aku mati! Mana Key?
"Key! Key!" Sekuat tenaga aku ingin berteriak. Tapi tak ada kata-kata yang dapat dikeluarkan dari mulutku.
Untungnya gerakan bibirku dapat dibaca oleh perempuan paruh baya itu.
"Dia aman, Ci. Kalian berdua selamat dan masih hidup. Alhamdulillah...Alhamdulillah..."
"Hidup? Kami masih hidup?" Gerak bibirku berusaha keras.
Ia mengangguk sambil terus mengusap matanya yang basah.
Lalu apa yang kulihat tadi? Dia bukan terbakar oleh api neraka?
Keributan terjadi di ranjang sampingku.
"Lakukan CPU!"
"Tambahkan epineprin!"
Suara datar panjang dari mesin perekam jantung yang tak kunjung jadi detak beraturan. Orang yang mendampingiku menutup tirai agar menutup pandanganku.
"Ci Ollie, jangan lihat ya."
Tapi aku masih mendengar perlahan keributan itu memudar, diiringi lolongan panjang menyanyat dan menyakitkan.
"Andiiii...Andiii...Dia cuma pengen ambil Chiki! Cuma Chiki" raungnya diantara lolongan panjangnya.
Aku memandang orang yang menemaniku dengan tatapan bertanya.
Seakan tahu apa yang aku tanyakan, wanita paruh baya itu berkata,"Mereka korban kebakaran yang dirujuk ke rumah sakit ini. Mereka ikut menjarah toko hanya ikut-ikutan saja, tapi malah terjebak dalam kebakaran. "
Kebakaran? Penjarahan? Ingatan itu datang lagi, menyeruak. Suara-suara itu datang kembali. Orang-orang yang menyerbu tokoku. Orang-orang berkeringat dan bermata nyalang yang menghampiriku dengan seringai mengerikan,
Aku berteriak, memberontak.
Entah berapa lama, sampai aku menyadari telah berada di pelukan wanita paruh baya yang sesenggukan menangis.
"Semua baik-baik saja, Ci. Semua sudah baik-bak saja. Ci Ollie, Key. Ibu berada di sini, Bapak ada di sini. Semua yang di sini baik sama Cici."
Aku menangis di pelukannya. Entah berapa lama juga. Ketika aku menjadi agak tenang, seorang suster membawa ranjangku pergi dari UGD. Ya, aku telah menyadari upaya bunuh diriku dan anakku tidak berhasil. Mereka membawa kami ke rumah sakit tepat waktu.
Dalam perjalanan menuju bangsal, merupakan perjalanan paling lambat yang pernah kujalani. Orang-orang terbaring di ranjang dengan kondisi yang tidak pernah aku bayangkan. Luka-luka lebam belumlah apa-apa. Yang kulihat lagi-lagi potongan neraka yang turun ke bumi.
Kulit orang-orang terbakar. Kaki patah. Wajah tak berentuk dan pandangan mata ketakutan. Lalu lalang orang-orang yang gelisah, ketakutan, dan kengerian.
Sayup-sayup aku mendengar beberapa.
"Istrinya meninggal kemarin, loncat dari lantai atas untuk menyelamatkan diri dari perusuh."
Aku ingat diriku sendiri. Kami bertiga bisa selamat dapat kubilang, semua murni keberuntungan. Tubuh kami bertiga bisa terjatuh di kasur yang dijatuhkan yang dijatuhkan Gembong sebelim kami melompat. Keberuntungan pula kami bertiga ditemukan oleh bapak-bapak kampung yang pemberani.
Orang-orang yang masih bernafas sampai sini kupikir juga keberuntungan.
Meskipun aku tahu, saat ini kami sama sekali tidak merasakan keberuntungan itu. Kami kesakitan tanpa tahu apakah semua ini akan berhenti.