Hanya Mimpi

Binti Uti
Chapter #9

Bab 9

Ya! Aku menjalani hidupmu!

Puas sekarang kau menyadarinya?

Aku melempar selimut dan segera mencari cermin. Wanita itu baru menyadarinya. Aku benar-benar ingin berteriak di hadapan wajahnya.

"Berhenti mengangguku dalam mimpi! Pergi!"

Sial! Benar-benar sial! Dia masih hidup! Apa yang dipikirkan para penolongnya itu?

Mereka miskin, masih saja menampung orang. Membawanya ke rumah sakit. Harusnya mereka membiarkan mati saja. 

"Mati saja kau!"

Kulepaskan saja semua umpatan ke bayanganku di cermin. Di ada di sana. Di dalam tubuhku. Dia juga menjalani kehidupanku. Aku sudah menyadarinya sejak dia berkeinginan ingin pergi keliling dunia karena aku orang kaya. 

"Tidak ada masa depan di sini. Eh, dengar ya, para penolongmu itu cuma berharap uangmu. Kamu China, jadi dikira orang kaya. Tidak ada orang yang benar-benar baik di dunia ini. Mati muda lebih baik daripada hidup dengan nasib sepertimu. Akan kubuktikan kalau kau memang mati muda. Mati mengenaskan. Tunggu saja. Ingat ya, sekarang tahun 2023. Akan kucari kuburanmu hari ini."

Suara telepon mengentikanku. Dengan langkah kesal aku menuju kamar dan mengangkatnya. 

"Aku akan membunuhmu kalau tidak penting," semprotku kepada asistenku.

"Maaf, Pak. Berita ini harus segera disampaikan. Foto-foto anda sudah mulai tersebar. Sementara masih dapat kami tekan. Tapi kita tidak akan bisa menjamin ke depannya." 

Aku memijat kepalaku yang mendadak pusing. Yang benar saja! Sekarang baru pukul lima pagi. Aku baru tertidur tiga jam. Itupun digunakan untuk menjalani kehidupan orang sengsara.

"Lalu?"

"Kami sudah menemukan Cinderella yang cocok, Pak. Seorang selebgram yang sedang naik daun. Pagi ini, sebisa mungkin segera menemui selebgram itu, Pak. Sudah tidak ada waktu lagi."

Aku membuang nafas lelah. 

"Sepatunya menapak bumi, kan?"

"Apa, Pak?"

Ya, Dia memang pantas bingung. Dunia ini memang sudah gila, kan?

"Atur saja. Batalkan pertemuan jika perlu."

"Baik, Pak."

Beberapa jam kemudian, aku sudah berada di ruangan penuh warna. Di dinding tengah ruangan ada lampu pink norak yang membentuk kata Lali Ana. Persis di depannya, ada lampu bulat putih dengan lubang besar di tengahnya. Lampu influencer.

Datanglah selebgram yang dimaksud. Aku agak terganggu dengan make-upnya yang tebal. Ia mengenakan gaun pendek berpanyet yang memamerkan belahan pundaknya mulus sempurna. Lehernya dihiasi kalung mutiara yang besar.

Ia menghampiriku sambil tersenyum.

"Selamat datang di tempat syuting kami. Saya Lali."

Ia mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dengan enggan. Bukannya tidak tertarik pada tubuhnya, hanya saja seleranya ini membuatku hampir muntah. 

Aku melirik galak pada Ranji. Kalaupun memang terpaksa mencari gadis, paling tidak yang masuk seleraku.Bukannya ondel-ondel norak seperti ini. 

"Vrin,"jawabku singkat. 

Kami dipersilahkan duduk di sofa yang tak kalah mengerikan. Merah jambu dan berbulu. 

Dengan suaranya yang agak melengking dan mendayu, ia berkata,"Aku harusnya yang ke tempat anda. Cuma asisten anda bilang lebih baik di sini. Tapi ya begini, berantakan. Nggak papa ya? Aku panggil anda apa nih? Kakak? Mas?"

Aku tersenyum kikuk. "Vrin aja."

"Oh! Tapi nggak sopan banget. Aku baru dua puluh tahun. Anda lima tahun di atas saya."

Aku terpaksa kembali menelisik penampilannya. Dua puluh tahun? Aku hanya bisa tertawa dalam hati. Tapi setidaknya ada satu yang melegakan. Kakinya menapak lantai.

"Kakak aja."

Dia mengulum senyum. "Kak Vrin menggemaskan sekali. Apa nggak sekalian sayang aja?"

Apa dia tidak sadar sedang berhadapan dengan siapa? Aku ini CEO perusahaan besar, sedangkan dia cuma selebgram yang cuma obral omongan dan penampilan.

Ah, lagi-lagi aku harus menyalahkan diriku sendiri. Sejak mendapatkan mimpi bersama wanita sialan itu, aku jadi memiliki rasa inferior yang menjengkelkan. 

Aku memejamkan mata sebentar dan meyakinkan diri bahwa aku ini sang superior. Aku yang mengaturnya, bukan dia yang mengaturku. Aku yang di atas awan. Bukan dia. 

"Bukankah itu terlalu lancang?"

Lihat selengkapnya