Hanya Mimpi

Binti Uti
Chapter #10

Bab 10

Jadi benar. Tidak ada masa depan untukku. Aku akan mati dua tahun lagi. 

Aku membuka mata tapi tak berniat untuk bergerak. 

Kanker. Kanker. Kata-kata itu terngiang jelas di kepalaku. 

Itulah masa depanku. Tidak ada harapan lagi. Aku menatap box Key, yang sudah tidur dengan tenang, mungkin karena ada Mbak Indah datang pagi ini. 

Sudut mataku menangkap siluetnya. Tapi aku tak berniat untuk menyapanya. 

Mengetahui masa depan tidak selalu baik, bukan? Aku belum divonis penyakit kanker oleh dokter, tapi telah divonis oleh masa depan. Masa depan yang kita harapkan itu, ternyata sudah tertulis dan selesai.

"Ci Ollie sudah bangun?"

Suara Mpok Asri yang menyadari aku telah membuka mata. Aku hanya mengangguk kecil untuk menanggapi. 

"Kalau pemeriksaan hari ini baik, sudah boleh pulang lho."

Pulang? Pulang kemana? Kerusuhan di luar sana belum mereda kudengar. Rumah, satu-satunya tempat yang bisa kubayangkan ketika menyebut kata pulang, mungkin sebentar lagi juga akan hilang.

Keluarga pun tak ada. 

"Nanti di rumah Babe Ahmad banyak temennya. Nggak akan kesepian."

Aku menoleh untuk menatapnya.

"Rumah Babe Ahmad?" tanyaku pelan.

"Iya. Babe Ahmad berniat untuk memberimu tempat tinggal sampai kerusuhan ini mereda. Ci Ollie jangan balik dulu ke rumah. Bahaya. Apalagi aku juga masih belum bisa berpisah dengan Key. Iya, kan Key?" jawabnya sambil mencubit gemas pipi Key. 

Mereka baik karena menganggapku orang kaya.

Apakah aku harus mempercayai Vrin?

"Ci Ollie harus bangkit lagi. Anggap aja ini kesempatan hidup kedua yang diberikan Tuhan."

Kesempatan kedua? Kesempatan yang sangat sempit bagiku. Aku hanya akan hidup dua tahun lagi. Akan ada penyakit mengerikan di dalam tubuhku. Inikah yang dimaksud kesempatan kedua?

"Gadis yang di pojokan itu, tadi pagi kritis, dan harus dipindah di ruang ICU." Mpok Asri menghela nafas berat. "Sebagai wanita, aku nggak ngerti harus mendoakan gimana. Kalau perempuan udah digituin, apa masih bisa hidup? Aku itu ngeri sama pikiranku sendiri, Ci. Mati bisa jadi lebih baik. "

Aku menoleh ke ranjang di pojok yang kemarin ditempati gadis penuh lebam yang selalu tidur berselimut rapi. Sekarang ranjang itu kosong. 

Dalam kepala, aku mendengar kembali suara tangis sang ibu di kamar mandi. Dari tangis itu, aku tak bisa membayangkan kengerian yang menimpa putrinya. 

"Untung aja Ci Ollie bertemu Babe Ahmad"

"Beruntung?"

"Iya, beruntung. Tuhan pasti sayang banget sama Ci Ollie."

Lihat selengkapnya