Hanya Mimpi

Binti Uti
Chapter #12

Bab 12

Aku membuka mata dengan cepat. Aku berusaha mengingat dengan keras kilasan-kilasan mimpiku. ada sesuatu hal yang sangat penting yang harus kuingat. Aku menyingkirkan masalah Lali yang berhasil memperkirakan cuaca dan peristiwa dengan tepat. 

Kusingkirkan juga rasa pusing dan pening saat Vrin menelaah dokumen dan bernegosiasi dnegan klien. Aku harus ingat pada waktu pagi hari. Informasi yang rhubungan denganku.

Jam dua dini hari. 

18 Mei 1998.

Gadis dengan lebam di wajah. 

Itu dia.

Aku pun dengan segera beranjak bangun. Jam berapa sekarang? Tanggal berapa sekarang? Aku mengecek jam di tengah dinding ruangan. 

01.30

Tanggal berapa?

Di dekatku ada Bu Ahmad yang sudah tertidur pulas di karpet yang digelar di lantai. 

Bangsal sangat sepi. Rupanya semua sudah terlelap. Aku melihat kalender, tapi aku tak bisa menentukan sekarang hari apa dan tanggal berapa. Aku tak lagi ingat kapan tepatnya aku diserang. Berapa hari berlalu setelah itu. Aku tak tahu. 

Dengan hati-hati aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar bangsal. Aku mendengar ada orang berbicara di luar sana. Mungkin perawat yang masih berjaga. 

Aku merasakan tanganku bergetar. Aku tak tahu apakah ini tindakan yang benar. 

"Moga-moga demonya segera udahan."

Aku mendengar mereka bicara.

"Ck. Parah kalau gini terus. Udah encok gua."

"Ya mau gimana lagi. Daripada kita pulang malah babak belur di jalan."

"Masih mending kalau ada bonus sih. Ini...boro-boro bonus. Negara aja krisis."

"Udah ah. Yang penting niat kita bantu. Nggak liat apa kondisi para korban."

Kring...kring...

Mereka saling berpandangan. Tampak wajah mereka yang khawatir. 

"Jangan-jangan ancaman lagi!"

Mereka saling mendorong siapa yang angkat telepon. 

"Gimana kalau nggak usah diangkat aja?"

"Siapa tahu darurat."

Akhirnya salah satu dari mereka mengangkat ganggang telepon dengan gemetar. Aku tak mendengar apa yang diucapkan oleh di penelepon. Tapi dari sorot matanya yang tiba-tiba panik, apa yang mereka perkirakan benar adanya. Sebuah ancaman. 

Kepanikan mereka merambat ke tubuhku. Kulitku meremang. Tanganku gemetar. AKu ingin berbalik dan meringkuk di bawah selimut.

Hanya saja aku masih ingat untuk apa kau di sini. Aku ingin memastikan tanggal. Ada orang yang nyawanya di ujung tanduk dan akan melayang sia-sia. Gadis itu tidak boleh mati. Gadis itu harus hidup, lalu bangkit dan berjuang sebagai saksi agar pelaku dapat dihukum setimpal. Pelaku tidak boleh dbebaskan begitu saja. 

Kematian gadis itu sama saja kemenangan bagi si pelaku. 

Aku tidak boleh membiarkan itu terjadi. Darimana aku mendapatkan keberanian ini? Aku tak tahu pasti. 

Yang dapat kupastikan, ada semacam rasa tak rela dalam diriku. Aku ingin mereka yang menggila saat kerusuhan itu bertanggung jawab atas ini semua. Atas trauma yang akan kami tanggung seumur hidup. 

Kami telah hidup belasan, puluhan tahun, tapi hanya dengan satu dua hari, seluruh hidup kami berubah . Cara kami memandang kehidupan tak lagi sama. Dan kalian ingin lolos dari semua itu? Tidak akan kubiarkan.

Jadi, dengan terseok aku menghampiri mereka. Aku tak memperdulikan kepanikan mereka. Waktu berjalan dengan sangat cepat. Sekarang sudah pukul 01.40.

Mereka berjingkat kaget ketika melihatku. Aku menyadari saat ini aku lebih mirip seperti hantu, apalagi di rumah sakit tengah malam, di saat UGD menerima korban tak bernyawa lebih banyak dari biasanya. 

"Ya Alloh Ya Robbi!"

"Setan! Setan! Sayur Kangkung! Sayur Nangka! Sayur Manggaa!" 

"Manusia Bukan itu Jaaa?"

"Mana aku tahu!" Dia memukul pundak temannya sambil menutup mata.

Temannya mulai menenangkan diri, lalu memberanikan diri mengamatiku.

"Pasien, kan?"

Aku mengangguk.

Dia memukul kepala rekannya dengan gulungan kertas.

"Manusia! Dasar penakut."

Lihat selengkapnya