Dering alarm jam weker. Apakah aku sudah pulang? Suaranya persis seperti jam weker di kamarku.
Tidak ada langit-langit kamar. Yang kulihat di atas sana adalah genteng berjejer. Ah, masih di rumah Babe Ahmad dan Bu Ahmad. Kusebut Babe dan Bu karena Babe berasal dari betawi. Bu Ahmad berasal dari Jawa.
Meskipun aku menyadari masih di rumah Babe dan Bu Ahmad, namun suasana hatiku agak lebih baik. Aku melakukan sesuatu yang baik kemarin.
Aku menyelamatkan nyawa seorang gadis. Kemarin pagi aku juga diperbolehkan pulang. Tapi kami baru bisa pulang siang menjelang sore.
Kerusuhan tidak separah beberapa hari yang lalu. Mahasiswa masih berdemo, bahkan kemarin menduduki kantor DPR/MPR. Kondisi masih mencekam. Apalagi berbagai rumor mengerikan menyebar.
Aku tidak tahu kapan ini selesai. Aku berharap tuntutan mahasiswa bisa segera diakomodir oleh pemerintah.
Tak bisa membayangkan bagaimana kerusuhan ini akan terjadi terus menerus. Kemarin saja aku pulang seperti adegan film laga. Beberapa perusuh masih saja mencegat orang lewat dan menodong dengan beringas. Belum lagi ancaman dari mulutnya.
Aku tidak menyangka bagaimana lebih heroiknya Babe membawaku ke rumah sakit. Aku baru mengerti kalau mereka bertaruh nyawa demi hidupku. Orang yang tidak mereka kenal.
Hari ini tanggal sembilan belas Mei 1998, aku berada di rumah Babe Ahmad dan Bu Ahmad. Aku mendekap Key yang tertidur di pangkuanku. Memang benar kata bidan yang pernah datang kemari dan mengatakan aku beruntung.
Setelah melihat apa yang terjadi di rumah sakit, seketika mendapati betapa beruntungny aku. Selamat dari pelecehan, selamat dari kebakaran, dan selamat lompat dari lantai dua.
"Ci Ollie, makan dulu." Suara Bu Ahmad dari pintu.
"Iya bu."
Key kuletakkan di dipan. Lalu beringsut keluar.
Di meja makan sudah ada makanan sederhana. Nasi dalam bakul. Sayur kangkung. Tahu dan tempe. Sambal dan kerupuk. Agak sebelah pinggir meja ada teko teh dan toples kopi.
Aku tak memperhatikan ini sebelumnya. Aku tak tahu makan apa. Sepertinya bubur atau entahlah. Waktu itu pikiran sedang kacau sekali.
Tiba-tiba di depanku disorongkan semangkok bubur.
"Kata dokter, tidak boleh makan yang kasar-kasar dulu, Ci."
Aku mengangguk.
Bu Ahmad menghela nafas. "Harusnya Ci Ollie bisa dirawat di rumah sakit agak lama. Tapi maaf, Ci, biaya rumah sakitnya mahal sekali."
Deg. Apakah perkataan Vrin benar? Mereka membantu karena mengira aku orang kaya?
"Setelah ini, saya akan mencoba usaha lagi dan membayar pengeluaran saya di sini."
Raut muka Bu Ahmad berubah. Dengan cepat ia melambai-lambaikan tangam di depan wajahku.
"Bukan...bukan begitu Ci. Ibu rela lillahita'ala bantu Ci Ollie. Nggak mau saya dikembalikan uangnya. Yang ngembalikan biar Gusti Alloh."
"Saya akan tetap mengembalikannya, Bu. Saya sudah berutang nyawa dua kali. Ke depannya saya akan menganggap mendapatkan kesempatan hidup yang ketiga. Semoga saya tidak menyia-nyiakannya."
Bu Ahmad tersenyum.