Ini kisahku. Kisah fantasi dalam sebuah fiksi, sesuatu yang kau baca dalam setiap aksara. Pada awalnya, aku bingung. Bagaimana cara menulisnya? Apa sudut pandang yang harus aku pakai? Pertanyaan itu seolah mencoba untuk menurunkan semangatku dalam menulis cerita ini. Namaku Levin, sebuah nama pena yang akan aku gunakan dalam cerita ini. Dalam cerita fantasi ini, aku akan menggunakan sudut pandang orang pertama. Aku tahu ini sulit bagiku, tetapi aku ingin terus mencobanya. Sebuah kisah fiksi dalam fiksi kenyataan.
Hari itu aku berangkat ke sekolah seperti biasanya. Seorang murid biasa yang tidak terlalu pandai, tetapi aku punya ingatan yang kuat ketika aku membaca. Tidak heran jika orang lain menyebutku “Si Kutu Culun”. Aku tahu jika itu adalah sebutan yang paling menyakitkan dalam kehidupan SMA-ku, tetapi apa yang bisa aku perbuat dengan tangan-tangan kurus dan lemah ini? Aku hanya bisa menenggelamkan diri dalam halusinasi karya sastra.
Tenggelam dan menjauh dari kenyataan memang terasa menyenangkan. Namun, sensasi halusinasi hanya ada dalam pikiran. Sesuatu yang akan sukar dirasakan indra. Terkadang aku berkhayal jika aku bisa masuk dalam sebuah tulisan dan menemukan pasangan hidupku di sana. Sesuatu yang mustahil untuk dilakukan, tetapi entah mengapa aku mempercayainya. Mungkin aku yang sudah lama jomlo ini ingin mendapatkan pasangan hidup. Tetapi, apa yang bisa aku lakukan?
Perlahan matahari yang turun itu ingin merayuku untuk segera pulang ke rumah. Aku tidak sadar jika sudah tenggelam dalam lamunan. Terlalu banyak pikiran setelah pulang sekolah membuatku ingin pergi ke suatu tempat yang jauh. Namun, aku tidak ingin menyusahkan pamanku. Dia adalah orang yang telah menjagaku setelah kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan. Sekarang, aku masih tinggal di rumah itu sendiri. Pamanku selalu datang setiap hari sabtu untuk memberiku uang saku dan biaya lainnya.
Sepertinya aku terlalu banyak berpikir, mungkin lebih baik pulang sebelum gelap. Hidupku sendiri saja sudah redup. Aku pun beranjak dari tempat itu, sebuah tempat dimana aku mencurahkan isi hatiku dalam sebuah renungan dan lamunan. Tempat yang cukup tinggi untuk memandang Kota Aksarakarta. Aku berjalan perlahan dan menaiki sepedaku. Lalu pulang ke rumah.
Setibanya di rumah, aku heran karena lampu-lampu itu sudah menyala. Apa mungkin pamanku datang hari ini? Sepertinya tidak mungkin, tetapi hal itu bisa terjadi kapan saja. Pamanku adalah pekerja kantoran yang sibuk, aku tahu hari ini bukan hari liburnya sehingga dia seharusnya tidak datang ke tempat ini. Namun ketika aku membuka pintu yang ternyata tidak terkunci itu, kenyataan berkata lain.
“Oh, Levin. Aku udah buatin makan malam. Jadi, kamu nggak perlu lagi beli makanan,” ucap pamanku sambil menyiapkan piring.