Setelah beberapa hari melihat film-film roman yang lain, aku merasa bahwa risetku sudah lebih dari cukup. Aku pun mulai membuat sinopsis dan outline untuk menulis ceritaku. Akhirnya cerita Bulan Asmara itu lahir, aku tidak terlalu yakin dengan ceritaku. Namun, aku tahu bahwa ceritaku sudah cukup matang untuk ditulis. Lalu dengan rasa percaya diri yang tinggi, aku pun mulai membuka laptopku dan menulisnya.
Meskipun senja yang indah selalu menggoda, mata dan hatiku hanya ada untuk aksara. Halusinasiku pun terasa menarik jiwaku masuk ke dalam cerita. Meskipun hanya dalam angan, tetapi hal itu terasa nyata. Waktu yang tidak aku hiraukan berlalu dengan cepat. Ketika aku menoleh ke jam dinding itu, jarumnya sudah menunjuk jam delapan malam. Aku pun menghentikan gerakan jemariku. Aku hampir lupa tidak makan malam hari ini. Sepertinya aku akan keluar rumah untuk membeli makanan.
Suara jangkrik menyambutku ketika pintu rumahku terbuka, hal biasa yang aku dengar pada malam hari. Dengan kedua tangan di dalam saku, aku pun mulai melangkahkan kaki di jalan malam. Hawa dingin begitu terasa, mungkin hujan akan tiba. Ketika aku berpikir tentang makan malamku hari ini, mungkin nasi goreng di ujung jalan akan menjadi menu makananku hari ini. Jujur saja, aku sangat lapar.
Keesokan harinya, aku bangun lebih awal sekitar jam dua pagi. Waktu yang masih tersisa sebelum jam tujuh pun aku gunakan untuk menulis. Sekitar dua sampai delapan halaman telah aku tulis, cukup banyak menurutku. Mungkin ini pertama kalinya aku menulis sebanyak itu dalam satu hari. Aku akan mencoba konsisten dalam menulis ceritaku sehingga aku dapat membuat dunia sendiri dalam lembaran kertas.
Kata dan diksiku belum begitu sempurna untuk tulisan, aku masih perlu banyak berlatih. Namun, hatiku percaya jika naskahku ini akan diterima oleh penerbit. Rasa keyakinan itu terus membara dalam hidupku. Ketika aku menggambarkan sosok perempuan yang sesuai dengan keinginanku, dia begitu sempurna. Kata-kata untuk mengurangi kepribadiannya pun tidak dapat mengurangi kesempurnaannya di mataku. Aku seperti jatuh hati kepada karakter yang aku tulis sendiri.
Ketika matahari menyapa melalui ventilasi udara, mataku pun mengalihkan pandangannya ke jam dinding. Waktu sudah menunjukkan jam enam kurang lima belas menit. Sepertinya aku harus menyudahi pertemuanku dengan sosok yang aku tulis, aku merasa waktu begitu cepat. Mungkin aku jatuh terlalu dalam di angan sehingga aku melupakan kenyataan. Aku merasa diriku masuk dalam dunia bayangan yang aku ciptakan sendiri.
Sejenak, aku menghela napas sambil menutup mata. Lalu, aku beranjak dari kursi kayu itu dan berjalan menuju kamar mandi. Aku membasuh wajahku untuk menghilangkan rasa kantuk dan halusinasi yang tertinggal di kepalaku. Kemudian, aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Dalam hati, aku mencoba berusaha untuk memberi semangat kepada diriku sendiri. Lagi pula tidak akan ada orang yang memberi semangat kepadaku untuk menghadapi dunia yang kejam ini. Karakter dalam ceritaku pun tidak akan melakukannya untukku.
Sesampainya di sekolah, aku pun duduk di kursi dan meletakkan tasku. Aku lihat masih ada beberapa siswa yang belum datang. Tiba-tiba, sosok yang aku kagumi datang, dia adalah Diana. Rambut panjang yang tidak akan pernah aku lupakan sejak waktu itu. Waktu dimana aku dan dia pertama kali bertemu saat masa orientasi siswa. Kenangan itu tidak terlalu penting untuk diingat olehnya, aku tahu hal itu karena dia telah melupakan aku. Seseorang yang telah membantunya mengerjakan tugas masa orientasi dari kakak kelas. Meskipun aku dan dia satu kelas, tetapi dia sama sekali tidak pernah menyapa atau berbicara denganku.
Sejenak aku berdiam dalam angan dan halusinasi tentang cerita yang aku buat. Aku memikirkan bagaimana kelanjutan cerita karanganku. Aku tidak sabar untuk mengakhiri tulisanku sendiri. Banyaknya halusinasi dalam kepalaku membuat waktu terasa cepat. Aku hampir seperti tidak hidup di dunia ini. Saat istirahat, aku langsung keluar kelas dan berjalan menuju ke perpustakaan.
Namun, ada sesuatu yang aneh ketika aku sampai di tempat itu. Seorang kakek tua yang berjalan ke arahku setelah keluar dari dalam perpustakaan. Dia membawa sebuah pena tua, lalu dia memberikannya kepadaku tanpa berbicara sepatah kata. Kakek itu pun berjalan pergi ke arah yang berlawanan denganku. Ketika aku menoleh ke arah kakek itu, dia tiba-tiba menghilang.