Batas Karsa

Aesya Muhami
Chapter #1

SELO - SIRED(I)

As I see it, every day you do one of two things: build health or produce disease in yourself.

— Adelle Davis

###

Selo

Pernah merasa normal?

Pernah merasa baik-baik aja disaat lo nggak baik-baik aja?

Pernah merasa jadi segalanya ketika lo hanya apa adanya?

Mungkin terdengar absurd, tapi…

Itu yang gue rasain sekarang.

Disaat remaja seumuran gue berjuang untuk bisa masuk sekolah favorit mereka, gue malah berjuang untuk bisa sembuh dari penyakit yang gue derita.

Disaat cewe kebanyakan menghabiskan waktu hari libur mereka untuk jalan bareng temen, gue terpaksa harus menghabiskan seluruh waktu yang gue punya di ruangan terapi berwarna-warni.

Disaat remaja diluar sana bisa banggain keluarga mereka, gue malah mendengar Mama berkata, “Ayo Selo, kamu bisa. Kamu bisa sembuh, bisa kayak dulu lagi.” Sambil menatap gue penuh harap.

Gue selalu menanamkan dipikiran bahwa, gue bisa sembuh. Gue bisa keluar dari ‘batas’ yang memisahkan gue dengan dunia luar. Gue bisa hidup layak, hidup bahagia, tanpa membebani Mama dan kakak gue –Ardan dengan biaya pengobatan yang nggak murah.

Tapi setiap gue berpikiran seperti itu, saat itu juga gue kambuh.

Sakit dan sembuh itu pilihan, bukan takdir.

Terkadang gue kasihan dengan takdir, kenapa dia selalu jadi imbas kalo manusia tuh dapet musibah? Salahnya takdir apa?

Makanya dari dulu gue nggak pernah mau menonton FTV penuh drama yang ditayangkan di televise –selain karena tokoh FTV itu hobinya nyalahin takdir, toh hidup gue udah penuh drama, ngapain gue tambah kasih drama?

Hidup itu bukan tentang senang, sedih, bahagia, kecewa, bersama, kesepian, atau hal lainnya. Senang, sedih, kecewa, bahagia, bersama, dan kesepian itu Cuma sebagian kecil dari drama hidup kita.

Bahkan FTV aja kadang terinspirasi dari kisah nyata.

Dan hidup itu nggak seperti film bioskop, coy.

###

 “Pagi ini kamu mau makan apa?”

Gue menoleh untuk mendapati Mama berdiri diambang pintu lengkap dengan seragam PNSnya.

“Mama mau keluar cari makan, kamu mau makan apa?”tanyanya lagi.

“Nggak.” Gue menggeleng sambil memainkan rambut. “Nggak laper.”

Karena se-lapar apapun, tetap nggak akan ada makanan yang berhasil masuk kedalam organ pencernaan gue.

Detik berikutnya terdengar jelas langkah sepatu Mama yang mendekat, dan beliau duduk di kursi plastic –disamping ranjang pesakitan gue. “Mama nggak mau kamu sakit lagi, Selo. Kalau kamu mau makan, pasti cepat sembuh. Mama belikan soto ya? Atau rendang kesukaan kamu?” Mama bukan tipe orang tua yang pemaksa, tapi kalau menyangkut kesehatan gue, Mama nggak segan untuk melakukannya.

Gue menggeleng lagi. “Selo nggak mau makan, Selo nggak laper, dan Selo nggak butuh makan.”balas gue ketus. “Kalau Mama mau makan, Mama beli makan buat Mama sendiri aja. Selo nggak butuh.”

Kemudian tangan Mama menggenggam jari-jari gue yang kurus macem batang lidi ini.

“Gimana mau sembuh kalo nggak ada makanan yang masuk? Makanan dari rumah sakit juga nggak kamu makan. Ayolah Selo, jangan bikin Mama makin khawatir!”

Khawatir?

Gue bikin Mama khawatir?

Sejak kapan?

Gue menghela napas panjang sebelum mengatakan, “Kalau Mama khawatir, itu urusan Mama sendiri. Karena Selo nggak pernah meminta Mama untuk mengkhawatirkan Selo. Lebih baik Mama khawatirin Ardan yang sekolahnya berantakan.”

Lihat selengkapnya