“How long do you want to stay there?”
Gue mendongakkan kepala dan mendapati dokter Ratna –dokter yang menangani Selo menatap gue tajam.
“Dan kamu tidak ada usaha untuk mengajaknya berbicara.”
“Masuk dan coba ajak dia bicara. Dia memang belum terbiasa dengan kamu, tapi saya yakin dia ingin bertemu kamu. Selama ini yang bersama dia hanya saya dan Mamanya, jadi coba ajak dia bicara.”
Tiga minggu lalu ketika gue mencoba untuk mengajaknya berbicara, dia malah kambuh. Dan gue nggak mau itu terjadi lagi.
“Saya sudah kasih dia obat penenang.”
Spontan gue menggeleng. Karena gue terlalu lemah untuk melihatnya seperti itu.
“Jangan takut.”
Kondisi Selo memang jauh lebih baik dari terakhir kali gue lihat. Luka sayatan yang ada di tangannya mulai kering. Sinar matanya juga nggak semenyedihkan dulu. Dia memainkan ujung rambut dengan jari-jari yang kurus.
Dan ketika matanya menangkap kehadiran gue…. Gue terpaku. Begitupun dengan Selo.
Perlahan gue tersenyum. Bukan senyum terpaksa, tapi tulus. Bener-bener tulus.
“Ardan?”
Gue makin tersenyum lebar.
“Halo Selo.”
###
Selo
“Halo Selo.”
Dan betapa ajaibnya kalimat itu bagi gue.
Tanpa sadar kedua sisi bibir gue terangkat.
Gue tersenyum.
Senyum bahagia setelah dua bulan gue lupa caranya tersenyum.
Ardan duduk di sofa yang berada tepat disamping pintu. Sirat matanya memancarkan kekhawatiran dan bahagia sekaligus.
“Lo… udah agak mendingan?” tanyanya pelan.
Gue mengangguk mantap. “Seperti yang lo lihat.”
Senyumnya mengembang lebih lebar sampai kedua matanya pun ikut tersenyum. “Maaf gue baru bisa jenguk sekarang. Karena… Lo tahu kan gue se sibuk apa?”
“Bukan gara-gara gue yang kambuh?”
Senyum Ardan memudar. Gue menghela napas. “Gue sakit. Dan gue nggak tau bisa balik normal lagi apa nggak.”
Mungkin terdengar menyedihkan.
“Gue nggak bisa kayak dulu lagi, Dan. Gue bukan adik yang bisa lo banggain lagi. Gue bukan adik yang bisa ngelakuin ini-itu, gue bukan adik yang bisa nolong lo ketika lo susah… Gue nggak se-sempurna dulu…”
“Hidup gue bergantung sama obat, Dan.”
“Mungkin orang bilang, cacat itu biasa. Tapi bagi gue yang nggak pernah menginginkannya… Cacat itu berat. Gue nggak bisa bebas, gue nggak bisa ngelakuin semua hal yang dulu gue suka…”
“Gue benci, Dan.”
Memang terdengar menyedihkan.