“Lo jadi anak angkat waktu umur berapa?”
“Sejak bayi… Lo?”
“Dari umur delapan tahun.”
###
Gara
Dulu waktu gue kelas tiga SD, gue sempat dibuat penasaran dengan yang disebut ‘anak angkat’. Waktu itu gue hanya curi-curi dengar dari kumpulan anak kelas sebelah yang lagi ngomongin sinema indosiar terbaru –gue lupa judulnya apa, pokoknya tentang anak yang dijadiin anak angkat sama orang tuanya sejak dia bayi. Awalnya sih gue nggak terlalu tertarik, tapi kayaknya makin hari, makin banyak juga info tentang anak angkat yang gue dapet.
Si ini yang ternyata anak angkat lah, si itu yang dikira anak angkat –padahal bukan, bahkan nggak jarang mereka bicarain guru-guru atau temen mereka sendiri.
Dan sebenarnya, gue juga anak angkat. Mama bilang, gue diadopsi waktu masih bayi. Sienna –kakak perempuan gue waktu itu pengen banget punya adik. Karena Mama nggak bisa hamil lagi, maka Mama dan Papa memutuskan untuk mengadopsi anak dari panti asuhan.
Belum ada temen-temen gue yang tahu tentang ini, dan kalau mereka sampai tau, kayaknya gue bakal nggak punya temen lagi.
Sampai suatu hari, kelas gue kedatangan murid baru.
Namanya Adrian Dimas Pahlevi, dan katanya dia pindahan dari Sumatera. Dia dapat bangku pojok depan –barisan murid kelas yang teladan. Sejak hari pertama masuk dia Cuma diem dan pandangannya selalu terarah ke papan tulis. Nggak sekalipun dia nengok ke belakang, dan dia Cuma nengok ke samping waktu penghapusnya jatuh. Jam istirahat dia nggak jajan ke kantin dan hanya makan bekal bentonya.
Walaupun begitu, dia ternyata cukup tanggap untuk menjawab semua pertanyaan guru. Nilai tugas pertamanya dapet sempurna, begitu juga tugas yang lain.
Sebulan dia jadi bagian kelas ini, nggak satu pun gerak-geriknya yang gue lewati.
Adrian Dimas Pahlevi yang selalu datang ke sekolah paling awal. Yang pandangannya nggak pernah lepas dari papan tulis kelas. Yang selalu dapet nilai sempurna untuk ulangan dan tugas yang dia kerjakan. Yang nggak pernah jajan ke kantin dan selalu makan bekalnya sendiri. Dan Adrian Dimas Pahlevi yang selalu membuka pintu mobilnya sepulang sekolah dengan ekspresi bahagia.
Iya, semua tentang Adrian Dimas Pahlevi selalu sederhana.
“Gara, nanti malem ikut Mama ke acara peresmian restoran temen Mama ya. Malam ini kamu nggak ada jadwal les kan?”
Siang itu gue lagi asyik baca komik Detektif Conan di kamar sambil nyemil keripik. Gue hanya mengangguk mengiyakan perkataan Mama.
“Jangan lupa loh. Sebenarnya Papa sama Kak Sienna juga ikut, tapi hari ini Sienna ada janjian buat belajar kelompok persiapan ujian nasional, terus Papa ada acara lain sama temen SMAnya.” Jelas Mama sembari duduk di pinggiran kasur gue. “Oh iya, kamu kelas tiga apa sih? Tiga A bukan?” tanya Mama.