Arkan
“Kamu sudah ketemu Mama?”
Gue mendengar samar percakapan Papa dengan Ari di dapur.
“Mama ngomong apa aja sama kamu? Tentang keberangkatan Arkan saja, atau ada yang lain?”
Gue juga mendengar helaan napas Ari.
Sebenarnya kalo gue tiba-tiba duduk di salah satu kursi dan pura-pura makan atau belajar di dapur, bisa aja. Tapi dengan adanya gue disana mungkin Ari nggak leluasa untuk bicara, jadi gue hanya duduk di sofa depan televise sambil pura-pura nonton televise dengan suara kecil.
“Sudah Papa bilang dari kemaren-kemaren, biarkan apa yang Mama kamu inginkan, terserah dia mau suruh Arkan untuk kuliah di luar, terserah dia suruh Arkan buat jadi presdir di perusahaannya, biarkan saja. Toh, dengan begitu dia tetap bisa menjalankan hidupnya kan?”
Gue nggak kaget kalau Ari kecewa sama gue. Sejak awal gue udah mempertimbangkan matang-matang keputusan gue, dan gue udah memprediksi seperti apa reaksi Ari dan Papa. Mungkin Papa juga kecewa, tapi Papa tetap membiarkan gue melakukan apa yang udah jadi keputusan.
Gue masih mendengar suara Papa yang berbicara pelan kepada Ari. “Jangan kamu pikir Arkan jahat sama kita, Ari.”
Memang.
Gue memang nggak berniat untuk jahatin Ari maupun Papa. Gue memutuskan ini untuk mereka berdua, dan untuk gue juga.
Tapi bagian terbesarnya untuk Ari.
Sejak dulu, Ari sadar kalo dia nggak mungkin bisa membanggakan Mama. Dia nggak pernah dapet nilai diatas limapuluh, dia nggak pernah menjuarai lomba, dia nggak pernah melakukan suatu hal dengan benar. Dia Cuma anak SMP yang belum bisa membedakan antara matematika dan fisika. Dia Cuma anak SMP yang nggak pernah seharipun absen gangguin anjingnya security sekolah dengan melempar batu. Dan hal-hal konyol lain yang nggak berfaedah.
Dan karena Ari nggak bisa membanggakan Mama, gue yang harus menuruti kemauan Mama.
Mulai dari belajar setiap hari –karena Mama selalu mendaftarkan gue lomba tanpa gue setujui, ikut kelas bahasa –bahasa inggris lah, korea lah, mandarin lah, jerman lah, bahkan bahasa spanyol. Gue nggak pernah merasakan akhir pecan dengan jalan-jalan bareng temen, tapi yang gue rasakan justru gue bermain-main dengan angka di buku matematika.
Mungkin gue dan Ari kakak-beradik, tapi kami beda jauh.
Terlalu banyak perbedaan, bahkan masih ada sanak saudara yang mengira bahwa Ari itu adik angkat gue.
“Ari nggak menganggap Bang Arkan jahat, Pa. tapi Ari kecewa aja sama dia. Seenaknya nurutin kemauan Mama, lama-kelamaan Ari merasa dia kayak mengasihani kita! Seharusnya kalau sejak awal Ari tau akhirnya bakal kayak gini, Ari biarin aja dia ikut Mama. Nggak perlu ikut kita.”
Gue tersenyum kecut.
“Asal Papa tau, dulu Ari rela wajah Ari luka sana-sini buat bela Bang Arkan! Ari rela muka Ari rusak kena lemparan asbak Mama! Biar Bang Arkan nggak disuruh-suruh Mama. Ari nggak bisa biarin Bang Arkan hidup Cuma jadi robotnya Mama! Tapi apa balasan dia buat Ari?!”
Disini gue tertegun. Ari?
“Lengan Ari, tangan Ari, sering berdarah-darah setiap Ari habis ketemu Mama. Tangan Ari selalu dicambuk sama Mama pake ring beltnya, dan Ari selalu sabar. Karena Ari bener ikhlas untuk bela Bang Arkan!”
Tangan gue terkepal. Gue ingin marah.
Gue nggak mengharapkan ini. Gue nggak mengira semua akan begini. Ini diluar prediksi gue.