Rey
“Mi, ini rapornya Rey.” Suatu sore gue menyondorkan rapor ke Umi. Rapor yang seluruhnya tertulis nilai sempurna, hanya satu-dua pelajaran yang dapet nilai dibawah sembilanpuluh. “Mi, ini rapornya Rey.” Gue mengulang karena saat itu Umi lagi menghitung anggaran dari bisnis kue basahnya.
“Kasihin aja ke Abah. Entar Umi cek juga, tapi nanti. Umi lagi sibuk nih.” Gue kembali mengambil rapor dari tangan Umi dan mendekati Abah yang lagi baca Koran di kursi malasnya. “Bah, ini rapornya Rey.” Tukas gue pelan. Abah meletakkan korannya kemudia mengambil rapor gue. “Ini rapor hasil ujian tengah semester? Atau hasil tryout?” tanya Abah seraya membolak-balik rapor. “Hasil ujian tengah semester, Bah.”
Abah mengangguk-angguk sambil menelusuri barisan nilai gue. “Rey dapet rangking satu lagi.” Gue nggak tau apa yang mendorong gue untuk berkata seperti itu. Gue hanya ingin Abah menghargai perjuangan gue selama ini.
“Kamu rangking satu? Tapi kok nilainya ada yang jelek? Ini pelajaran biologi sama fisika kamu anjlok. Biasanya kan paling jelek sembilanpuluh lima, kok ini Sembilan puluh doang?” gue masih mendengarkan.
“Lain kali belajarnya lebih giat lagi ya. Abah nggak mau lihat nilai kamu yang begini.”
“Iya, Bah.”
Gue lupa sejak kapan Abah mulai memperlakukan gue seperti ini. Menyuruh gue untuk lebih giat belajar, nggak pernah memberi gue waktu untuk main, padahal dulu Abah masih ngasih kebebasan ke gue. Abah nggak pernah mengucapkan “Abah bangga sama kamu, Rey.” Tapi setiap kumpul keluarga besar, Abah selalu membanggakan gue. Abah bakal ngomong “Ini loh Rey, kemaren dia dapet rangking satu lagi.” Didepan semua sanak saudara.
Sampai-sampai gue berpikir kalau gue ini Cuma jadi alatnya Abah biar nggak dipandang sebelah mata sama saudara-saudaranya.
Apa iya semua orang pinter mengalami nasib sama kayak gue?
Berarti enakan jadi orang yang nggak pinter dong?
Terus gue harus nggak belajar biar jadi nggak pinter?
“Bengong aja lo. Kesambet entar.”
Oh, ternyata gue lagi nostalgia. Sampe nggak sadar kalo daritadi ada cewe yang duduk di bangku samping gue. “Lo belum dijemput? Tumben.” Cewe itu berkata sambil membuka bungkus chiki ball keju. Gue hanya memandang cewe itu heran. Hari gini masih ada yang makan chiki ball?
“Biasa aja kali ngeliatnya. Tau kok gue cantik.” Gue rasa dia cewe paling percayadiri yang pernah gue temui. “Nih.” Disty –cewe itu menyondorkan chiki ballnya ke gue.
Gue memandang chiki ball itu bingung. “Mau nggak lo? ditawarin juga.” Tukasnya. Melihat ekspresi gue, dia ngomong, “Mungkin aja dengan lo makan chiki, kepinteran lo berkurang kan. Terus lo nggak punya banyak haters. Asal lo tau, gue ini salah satu haters lo.” ya, emang Disty cewe paling percayadiri.
Jelas gue menggeleng. Bukannya takut kepintaran gue berkurang, gue malah takut kalo Disty sengaja ngasih gue chiki ball biar banyak micin yang masuk ke tubuh gue, terus gue mati cepet. Ih, nggak banget deh.
“Chiki ball nggak bikin mati cepet, kok. Gue yang setiap hari makan selusin aja nggak mati-mati.” Sepertinya Disty juga bisa membaca pikiran orang. Gue merasa suasananya agak horror gini ya?
Beruntungnya nggak lama kemudian gue mendapati Umi berjalan memasuki pelantaran sekolah. Gue cepat-cepat meraih tas. “Umi!” Umi menoleh dan melangkah mendekat. “Ayo, langsung pulang. Nggak ada yang ketinggalan di kelas kan? Maaf Umi telat jemput, acaranya baru selesai.” Umi membantu membawakan tas. “Loh?” senyum Umi mengembang ketika pandangannya tertuju pada sosok cewe disamping gue, begitupun dengan cewe itu. “Disty kan? Tetangga samping ya?”
Disty tertawa sambil menyalami Umi. “Hehe, iya tante.” Beda banget waktu dia ngomong sama gue tadi. “Belum dijemput juga? Mau bareng nggak?”