Rey mengetuk jemarinya ke meja kantin. Jam istirahat untuk siswa baru nggak boleh dia sia-siakan. Dia memang nggak sedang mendengarkan lagu, tapi ketenangan ini cukup jadi kepuasan tersendiri baginya.
“REYNALD MALIK!”
Tapi semenjak dia kenal sama orang-orang ini, ketenangannya Cuma bertahan sebentar.
“Nggak makan lo?” Dimas yang tanya. Rey menggeleng. “Sedang menikmati ketenangan tadi.”
“Alah, sok puitis!” Disty menoyor kepala Rey. “Eh, pesen makan gih, gue laper. Nitip!” baru jadi siswa baru, tingkahnya udah kayak senior mau lulus. Gimana entar pas jadi senior? Berlagak jadi guru? Caca melempar tempat tisu ke muka Disty. “Lo nggak inget hukuman permainan kita tadi? kan lo yang kalah, lo juga yang harus pesenin kita makan! Gimana sih!” yang ini nih, baru kenal tiga jam lalu, udah deket aja.
Disty menepuk jidat. “Yeu, pikun ya Nek?” ledek Gara yang dibalas cibiran Disty.
“Mau pesen apaan?” Disty bangkit. Karena belum ada yang buka suara, akhirnya dia berkata, “Gue samain aja pesenannya, ya.”
Mereka berakhir makan siomay dengan saos kacang pedas.
“Pedes gila siomaynya.” Udah kesekian kali Selo meneguk es tehnya. Dia emang nggak tahan pedas, tapi bukan berarti nggak suka. Justru dia suka banget, katanya sejak kakak cowonya ngajak dia ke Richeese Factory. “Iya, baru kali ini gue makan siomay yang saosnya pedes banget kayak gini!” kalau Gara malah menjulurkan lidahnya. Biar kena angin katanya.
Lain lagi dengan Dimas dan Rey yang makan tanpa ngobrol, atau Caca dan Disty yang menghabiskan tisu kantin untuk liur mereka yang terus mengalir.
Tolong jangan dibayangin, ya.
Tiba-tiba ada uluran tangan yang mengarah ke Caca. Disusul suara cowo, “Gue minta maaf.” Ibarat di novel-novel gitu, semua yang lagi makan di meja nomor empat pada diem. Sejenak mereka lupa sama rasa pedas saos siomay. Gantian cowo dengan tinggi 175 sentimeter yang jadi atensi mereka. “Gue minta maaf.” Ulang cowo itu. “Hah, apa?!” bengong sih.
“Gue minta maaf karena tadi ngelempar bola kertas ke lo.” cowo itu menghela napas. “Lo maafin nggak?”
Jawaban Caca membuat cowo bernama Raja Airlangga menghela napas lagi. “Nggak.”
“YA NGGAK MUNGKIN GUE NGGAK MAAFIN LO!”
Sekarang nggak hanya orang di meja nomor empat yang diem, tapi seisi kantin. Untung junior semua. Ini karena teriakannya Caca yang nggak terhitung berapa oktaf.
Belum juga Ari mengucap terimakasih, Caca udah menggeser tempat duduknya agar Ari bisa ikut makan bareng mereka. Dengan senang hati Ari bergabung dalam perkumpulan aneh itu.
Iya, aneh.
Kalian sadar nggak sih, kalau mereka aneh-aneh?
“Eh, gue mau makan apa? Kan gue belum pesen.” Ari menepuk jidat sambil nyengir lebar. Yang lain berpandangan, kemudian tertawa.