Selo
Haaaaaahh… Hari ini bener-bener bikin capek! Mulai dari pagi tadi gue bangun kesiangan dan harus buru-buru, buku PR yang ketinggalan dan harus menyalin seluruhnya, kerja kelompok yang menguras energi, belum lagi gue yang ikut campur masalah keluarganya Ari.
Bukan ikut campur sih. Sebagai teman, gue khawatir aja sama dia. Cowo ceroboh dan masa bodoh kayak dia emang bisa menyelesaikan masalah seorang diri? Beruntung tadi kakaknya dateng.
Gue segera mandi dan berganti pakaian dengan piyama –salah satu kebiasaan gue adalah selalu memakai piyama ketika didalam rumah. Kemudian gue duduk di kursi roda sambil menghadap ke jendela kamar. Suasana kompleks yang sepi di jam seperti ini membuat gue sedikit melupakan capek. Belakangan gue sering menatap langit, salah satu cara agar gue bisa lebih bersyukur dengan apa yang udah Allah kasih ke gue. Dan langit yang selalu jadi perantara atas semua harapan-harapan gue.
Sejenak gue lupa dengan rasa capai, rasa sesal, dan semua masalah yang berada di sekitar.
Langit dengan segala ketenangannya.
Makan malam dan kami –gue, Mama, Ardan berkumpul di ruang makan.
“Nih, makan.” Apaan nih? Gue mengernyit. Ardan menatap gue dengan pandangan horror. “Lo mau bergizi nggak? Makanlah ayamnya.” Ah, gue nggak ngerti sama dia.
“Mama sama lo nggak makan ayamnya?” sejak gue kena skizofrenia dulu, ekonomi keluarga jadi agak buruk. Semuanya untuk pengobatan gue yang nggak terbilang murah. Belum lagi masalah antara Mama dan Papa yang belum berujung. Bahkan saat itu Ardan terpaksa ambil beasiswa untuk lanjutin sekolah. Perabot rumah hampir semua dijual. Beruntung rumah nggak ikut dijual.
Sekarang, ekonomi keluarga perlahan bangkit.
Tapi ya begini aja, tetep harus hemat.
“Udah kok, tapi Mama sama Ardan makan rendang di kantin kantor.” Jawaban Mama membuat gue cemberut kesal. “Iih… kok makan rendang nggak ajak-ajak Selo sih! Padahal pengen…” beberapa hari ini keuangan Mama Cuma bisa untuk beli sayur dan telur, kalo ayam lagi murah ya beli ayam juga. Udah lama gue nggak merasakan enaknya makan rendang. “Mama ih… nggak inget Selo. Ardan juga. Huhuuuu…” gue berpura-pura ngambek. Berharap agar Mama maupun Ardan luluh dan esoknya mengajak gue untuk ikut makan rendang bareng di kantin. Hehehe.
Tapi ternyata, yang gue harapkan nggak kunjung terwujud.
Sebelum Mama masuk kamar, beliau mengucapkan sesuatu yang memutarbalikkan pandangan gue kepada dunia. “Hari ini Papa datang ke kantor Mama. Papa kasih semua uangnya ke Mama, katanya untuk hidup kita bertiga. Hari Rabu depan kamu izin sekolah dulu ya, hadiri sidang perceraian kami.”