US 3 - REUNITED
Empat tahun kemudian…
Tahun berapa itu?
###
Dimas
Gue menghela napas ketika terdengar teriakan dari lantai bawah. “DIMAAASSS!! CEPETAN TURUN, WOY!” belakangan ini, cowo paling cerewet itu makin sering datang ke rumah dan mengganggu gue. Padahal lagi banyak tugas dari universitas, dan waktu gue malah dihabiskan buat nemenin dia main. Main monopoli, pula.
“Dimas, itu si Gara udah teriak-teriak nungguin kamu. Cepetan turun, gih.” Papa melongokkan kepala diantara pintu kamar yang sedikit terbuka. Membuat gue yang sedang terbaring di sofa bangkit. “Anak itu lucu, ya. Diantara temen kamu yang lain, kayaknya Cuma dia yang berani teriak begitu dirumah orang.” ah, iya. Bertahun-tahun temenan sama dia, gue paling nggak suka cara dia teriakin gue dari bawah kayak gini. Beda dengan temen-temen yang lain, mereka cenderung diam sambil menunggu gue dengan sabar.
Kalau beberapa tahun lalu gue membalas teriakannya dengan teriakan juga, sekarang gue udah nggak melakukannya lagi. Kasihan pita suara gue, lama-lama bisa rusak.
Gue menuruni tangga dan mendapati segerombolan manusia yang udah bersama dengan gue sejak empat tahun lalu. Tapi belakangan ini kami sama-sama disibukkan oleh tugas masing-masing, dan membuat kami jarang berkumpul kembali. Hari ini sesuai kesepakatan bersama, kami berkumpul. Tapi karena bukan tanggal satu, jadilah rumah gue yang dijadikan tempat kumpul dadakan.
“Calon dokter udah dateng, guys!” Selo masih ceria seperti dulu. Bedanya, sekarang dia udah nggak duduk di kursi roda –Selo punya kaki palsu, dan dia sangat membanggakan hal itu. Selo berada di universitas yang sama dengan gue, tapi dia masuk jurusan ekonomi. Caca, Rey, dan Disty, mereka berhasil masuk universitas negeri bergengsi dengan beasiswa. Gara dan Ari berhasil masuk ke jurusan yang mereka sukai dan memilih jalan hidup mereka sendiri.
Kalau gue?
Ya… begini-begini aja. Sama kayak yang lain, nggak spesial banget.
Gue masih Adrian Dimas Pahlevi yang dulu, kok. Yang rajin kerjain tugas, yang rajin bantu orangtua, yang selalu ingin menunjukkan kalau gue bisa. Dan gue juga masih Adrian Dimas Pahlevi yang…
“AYOK NONTON FILM HOROR!”
Yang takut nonton film horror, tapi hobi nontonin.
Nggak ada yang berubah kan?
###
Ari
Dan seperti kata Dimas tadi, semua sama aja.
Gue masih tinggal bareng sama Papa dan Bang Arkan. Papa udah mendekati masa pensiun, jadi gue dan Bang Arkan harus jadi penjaga yang baik untuk Papa. Bang Arkan udah nggak jadi robotnya Mama lagi dan terakhir kali Mama dateng ke Bang Arkan, beliau sampai harus memohon-mohon agar Bang Arkan mau kuliah di Harvard. Hidup gue bahagia?
Tentu.
Apalagi Tuhan ngasih pelengkap berupa enam temen yang selalu setia sejak kami duduk dibangku SMA dulu.
“Ah, jangan nonton horror lah! Masa udah jauh-jauh kesini Cuma diajakin nonton horror. Jalan lah, makan lah, sama temen sendiri kok pelit!” Caca selalu protes dengan apa yang dikatakan Dimas. Entah itu baik atau tidak, pokoknya semua perkataan Dimas selalu salah. “Ya gue ngajaknya nonton horror di bioskop, bukan di rumah. Mau nggak lo semua??” Dan Dimas selalu punya cara bikin semuanya senang. Terbukti dengan anggukan dari semua.
Siang itu, ada tiga mobil berwarna sama yang melaju bersisian dijalan, menuju salah satu mal terbesar di Solo.