Game A: “Every strike brings me closer to the next home run.”
(Babe Ruth)
“Line up hari ini.”
Aldan, kapten tim Berjaya, berdeham gugup saat membaca catatan di tangannya. Mereka belum memasuki lapangan yang panasnya seperti pemanggang raksasa, tapi Aldan sudah berkali-kali melepas topi berlogo B dan menyeka peluh yang muncul di kening.
“Mulai dari Bagas, Kevin, Gary, Arsen, gue, Vino, Sendra, Agung, Rion, dan Nala.”
Semua mata tertuju pada Aldan, lalu mengangguk.
“Nggak usah khawatir, Cuy,” tahu-tahu Gary nyengir sambil menepuk pundak Aloy yang duduk dengan kedua tangan bertaut dan berusaha menyembunyikan wajah tegangnya di bawah topi. “Kita, kan, punya Aloy sama Arsen. Mereka jauh lebih awet daripada pitcher-catcher tim tetangga yang kayaknya bakalan cerai abis ribut besar tadi …,” tambahnya dengan tawa santai.
“Serius?”
Gary yang masih nyengir lebar langsung digempur dengan banyak pertanyaan oleh teman-temannya. Dugout yang sudah sempit, semakin terasa sesak. Sejenak Aldan gondok. Namun, dia sadar, begitulah cara teman-temannya melupakan rasa tegang yang menjalari mereka.
Di sudut dugout, Aloy dan Arsen yang tidak bergabung, memilih memandang lapangan melalui pagar tinggi berlubang dengan pola wajik.
“Kasih gue bola yang bagus, oke, pitcher?” ujar Arsen disertai tawa ringan.
Aloy mengangguk. Serius.
Sembilan cowok yang mengenakan jersey putih dengan tulisan “Berjaya” warna biru di bagian dada berdiri di titik-titik penjagaan lapangan yang berbentuk seperti permata. Sementara, tiga belas pemain lainnya mengenakan jersey hitam dengan tulisan “Rajawali” warna merah duduk di bawah dugout. Satu orang masuk ke kotak pemukul, satu orang lainnya menunggu giliran di sisi lapangan.
Pertandingan pun dimulai dengan Berjaya sebagai tim defense.
Pada inning (babak) awal, tidak ada yang menghasilkan run—satu run sama dengan satu angka. Bola seukuran kepalan tangan anak kecil itu hanya melintas bolak-balik di udara. Hal itu membuat waktu pergantian tim terasa cepat. Seakan-akan dua jam pertandingan akan segera tuntas.
Dalam baseball, setiap pertandingannya terbagi atas tim bertahan dan tim penyerang yang bermain bergantian di setiap inning—pergantian ditandai dengan tiga kali out. Tim penyerang akan berusaha mencetak angka, sedangkan tim bertahan akan mencegahnya. Angka diperoleh jika satu pemain dari tim penyerang berhasil mengitari infield dan kembali ke home base dengan aman. Begitu seterusnya, hingga ada tim yang mendapat skor tertinggi pada inning terakhir, yaitu—normalnya—sembilan. Jika skor pada inning tersebut masih seri, akan dilakukan penambahan inning, sampai ada pemenangnya.
Pertandingan pun memasuki inning enam A.
Dari atas mound—gundukan tanah di tengah lapangan—pitcher Berjaya bernomor punggung sembilan belas, Aloy, mengarahkan tatapan pada Arsen, sang catcher, yang membelakangi umpire. Jari-jari tangan kiri Aloy memutar bola. Butiran keringat memberikan sensasi lengket pada kening Aloy, sementara wajahnya mulai memerah karena terpanggang matahari selama hampir dua jam.
“Aloy, Aloy, Aloy!” Pekikan itu membuat Aloy melirik sekilas dan segera menemukan Keira di balik pagar. Dia berdiri dengan kedua tangan saling meremas dan tubuh yang kaku. Namun, sorakan heboh itu bukan berasal dari Keira, melainkan empat cewek di sebelahnya, yang juga teman kuliah mereka.
Aloy kembali memfokuskan pandangan pada catcher-nya. Jari tangan Arsen membentuk huruf V dan menggoyangkannya sebanyak dua kali.
Yes. Sign yang sesuai dengan harapan Aloy. Lalu, kepalanya mengangguk pelan dengan ekspresi tajam. Aloy pun mengangkat kaki kanan seraya menarik kedua tangan yang membungkus bola ke samping telinga—posisi wind up. Grip kedua jari berdekatan di bagian tengah bola. Lalu, dia mengayunkan pundak dan bola pun memelesat.
“Strike!” seru umpire di belakang Arsen.
Pemukul bertubuh kecil itu berhasil dimatikan dengan tiga strike berturut-turut. Dia kembali ke dugout dengan langkah diseret tak ikhlas, sedangkan tongkat pemukulnya—bat— dijatuhkan begitu saja ke tanah. Mukanya ditekuk karena dipaksa melewatkan kesempatan mencetak angka untuk timnya.
Keputusan Arsen berikutnya adalah bola di luar zona. Aloy mengiyakan.
“Ball!” seru umpire. Prediksi Aloy dan Arsen meleset. Bola yang dilempar oleh Aloy seharusnya bisa menjadi strike jika pemukul itu mengayunkan tongkat pemukulnya—swinging strike. Sayang, pemukul itu bergeming, membuat Aloy menggeram sebal dan Arsen mengetatkan kerutan alisnya. Padahal, jika strike, kesempatan pemukul untuk memukul bola akan berkurang dan keuntungan bagi pitcher adalah menghemat pitch count-nya—yang sangat berarti bagi keselamatan bahu dari risiko cedera. Sementara ball dapat memperpanjang kesempatan pemukul untuk bisa memukul bolanya, bahkan bisa berujung dengan free walk jika pemukul tidak bisa memukul sebanyak empat kali.
Aloy berusaha berpikir sambil membuka topi dan mengusap kening dengan lengan jersey-nya. Namun, otaknya mati rasa dan napasnya terengah. Sejenak, Arsen meminta waktu istirahat pada umpire dan segera berlari menghampiri Aloy setelah melepas pelindung wajah. Dirangkulnya bahu Aloy dan sambil sedikit menunduk, dia membisikkan kalimatnya: