Game A: “There are three types of baseball player; those who make it happen, those who watch it happen, and those who wonder what happens.”
(Tommy Lasorda)
Sejak tiga tahun lalu resmi menjadi pelatih klub Berjaya, Remi dan Sam selalu menekankan pada pemain bahwa istirahat, menjaga asupan makanan, dan latihan adalah hal penting. Karena itu, mengingat lapangan Pintu Satu Senayan juga disewakan untuk klub lain, Sam berusaha menyesuaikan agar timnya mendapat porsi latihan yang cukup. Dia yakin dengan jadwal latihan sebanyak dua kali seminggu, pada Jumat dan Minggu pukul tiga, pemain tim junior Berjaya akan bisa berkembang.
Pada Minggu sore itu, sebelum latihan dimulai, para anggota tim berkumpul di bench. Mereka sibuk membahas pertandingan antara Barcelona dan Madrid yang mereka jadikan sebagai taruhan.
“Pemanasan baseball lari, bukannya gosip,” sindir Sam saat sembilan pemain yang sudah mengenakan jersey itu malah bersorak seperti ibu-ibu arisan begitu Kevin dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan harus mentraktir. Sindiran Sam berhasil membuat mereka segera turun dan mengitari lapangan nomor dua di Pintu Satu Senayan. Setelah semua pemain merampungkan lari lima putaran lapangan—rasanya hampir separuh lapangan sepak bola—yang dilanjutkan dengan stretching, Sam menyuruh mereka berlatih catch ball dalam barisan. Saat mencari pasangan, Aloy celingukan seperti anak hilang begitu menyadari Arsen tak ada di antara mereka.
“Arsen agak telat. Nganter kakaknya ke dokter,” ujar Sam yang kemudian memanggil Nala. “Lo latihan berdua dulu.”
Meski tak ada yang protes, Sam tahu, keduanya tampak canggung.
Pemain inti Berjaya, terdiri atas sembilan orang, Aloy sebagai pitcher dan Arsen adalah catcher. Kapten dan base tiga ditempati oleh Aldan, cowok jangkung berkulit sawo matang yang sering kali tak sabaran dan terkadang impulsif, tapi tegas. Di base satu ada Kevin, berkepala plontos juga dingin, hingga Sam sering mengandalkannya untuk menghadapi pitcher yang gegabah. Pada base dua, ada Rion, si hitam manis yang kadang menjadi badut dalam tim. Lalu, ada Gary di short stop, si murah tawa dan bawel yang mata tipisnya justru menjadi senjata untuk mengamati lemparan pitcher. Vino di leftfielder cenderung pendiam. Di centerfielder ada Bagas yang pernah dikeluarkan dari tim inti mengingat betapa ragunya dia setiap kali memukul, tapi andal saat menangkap bola jauh. Dan, terakhir, di rightfielder ada Agung yang jika berada di posisi batter, lebih banyak pasrah saat bola datang ke arahnya. Sementara Sendra adalah pitcher cadangan yang lebih nyaman berada di third base dan Nala yang mudah panik adalah catcher cadangan. Memang bukan klub mayor seperti Satria Jaya yang memiliki lebih dari dua puluh kepala di berbagai liga. Namun, jumlah minim itulah yang membuat hubungan di antara mereka seperti keluarga.
Jika berbicara mengenai Nala, Aloy hanya geleng-geleng kepala. Bahkan, saat ini pun berlatih catch ball dalam jarak dua meter terasa begitu sulit. Beberapa kali cowok bertubuh pendek itu harus mengejar bola karena gagal menangkap lemparan Aloy. Aloy baru bisa bernapas lega saat Arsen muncul di lapangan satu jam kemudian. Latihan memukul pun dimulai.
Saat itu, keduanya sedang berada di ujung lapangan bersama beberapa anak lain, menunggu giliran menerima lemparan Remi. Melihat Nala yang sedang berhadapan dengan Remi dan terlihat gugup begitu bola melambung terlalu tinggi, Aloy menduga bahwa Nala bisa terkena nyeri otot leher karena terlalu lama menengadah seperti itu. Bola jatuh ke tanah dan Remi berkomentar, “Aduhhh, itu bolanya enak banget buat ditangkep!”
Nala kena hukuman, push up dua puluh kali.
“Dulu, lo sama Nala kenapa, Loy? Kayaknya gue belum denger cerita lo, deh,” tanya Arsen di sebelah Aloy ketika mengamati Nala yang tampak berkeringat dibanding yang lain.
“Nggak cocok. Lo lihat, kan? Nala suka takut terima pitching dari gue. Nggak ngerti kenapa.”
Alis Arsen mencuat. “Gue … kayaknya tahu gimana rasanya.”
Mata Aloy membelalak. “Maksud lo?”
“Dulu, pernah gue dapet pitcher yang … lo tahu? Sebenarnya, dia baik-baik aja, tapi setiap kali ngelempar, biar udah gue arahin sekalipun, gue kayak nggak bisa nebak ke mana arah bola itu. Pitching-nya bagus banget. Tapi, kadang gue ngerasa pitching-nya bukan buat gue.”
Aloy sadar bahwa memang tidak ada hal mudah dalam hubungan pitcher dan catcher. Terlalu rumit untuk dijabarkan dalam kata, juga terlalu sulit untuk dipahami secara makna. Hanya kedua orang itu yang tahu bagaimana dan apa yang membuat mereka yakin satu sama lain.
“Dan, by the way, kalau lo sama catcher Satjay dulu, kenapa?” tanya Arsen hati-hati.
Mendadak rahang Aloy mengeras.
“Gitulah,” jawab Aloy acuh sebelum meninggalkan Arsen untuk menyambut gilirannya.
Arsen, berperawakan tinggi dengan wajah putih, rambut cokelat tuanya berombak, dan berahang kokoh. Cowok perpaduan Indonesia-Belgia itu sudah cukup lama menjadi catcher. Ketika masih tinggal di Bandung untuk menghabiskan masa sekolah, Arsen telah banyak bekerja sama dengan berbagai tipe pitcher, mulai dari tipe yang selalu merasa bahwa dirinya adalah pusat perhatian, hingga pitcher yang mampu melakukan pitching dengan berbagai teknik (yang malah membuat Arsen tertekan). Saat Arsen memutuskan untuk mengambil kuliah Desain Komunikasi Visual di universitas idamannya, dia pun pindah ke Jakarta. Arsen bergabung dengan klub Berjaya, menjadi catcher, sejak semester satu hingga saat ini.
Arsen masih ingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Aloy. Waktu itu Aloy hanya bersedekap, enggan berjabat tangan. Ekspresinya menunjukkan pertahanan yang kuat pada dirinya sendiri. Namun, anehnya, pelatih untuk pitcher-cacther Berjaya—Sam, justru memasangkan mereka sebagai battery. Meski Arsen pernah melihat dan mengakui kemampuan pitching Aloy, sikap Aloy yang seolah menolak menjadi partnernya sempat membuat Arsen pesimis. Kata Sam, krisis kepercayaan pada catcher di klubnya yang dulu—Satria Jaya—membuat pitching Aloy mulai berantakan. Ditambah lagi, sehari sebelum kedatangan Arsen, Aloy mengeluh mengenai kecocokan dengan catcher-nya saat itu—Nala—yang baru menjadi partnernya selama sebulan, sejak kali pertama Aloy masuk ke klub barunya—Berjaya.
Tapi, tampaknya Aloy serius dengan ketidaknyamanannya itu. Selama latihan, setiap Arsen mengarahkan bola, Aloy selalu terlihat bingung sehingga terkadang Arsen merasa bahwa Aloy tak mengarahkan bola untuknya—tapi sekadar melempar. Beberapa kali Arsen bahkan tak mampu menangkap bola Aloy.
Hingga nyaris setengah tahun berikutnya, mereka mengikuti pertandingan pertama sebagai battery. Sebelum dimulai, Arsen menghampiri Aloy di dugout dan berkata dengan sorot mata penuh keyakinan, “Gue tahu lemparan lo bagus, Loy. Gue percaya, kita bisa kerja sama lebih jauh. Gue percaya lemparan lo, makanya lo juga harus percaya kalau gue pasti bisa nangkep bola yang lo kasih.” Aloy melengos. Arsen menepuk pundaknya.
Mulanya Aloy tak serius menanggapi omongan Arsen. Lalu, pilihannya yang menentang keputusan Arsen berakhir dengan dua home run lawan—berturut-turut. Arsen memilih tenang dan tidak menunjukkan emosi. Sampai akhirnya Aloy sendiri yang menyerah. Dia mengikuti kode Arsen tanpa sekali pun protes. Setelah itu, Berjaya pun menang. Dan, entah kenapa Arsen yakin bahwa Aloy tak akan punya pilihan selain percaya padanya. Hingga kini.