Maret 2002
Wanita berpenampilan berantakan itu berusaha menenangkan bayinya yang terus menangis dalam gendongan. Mungkin bayi laki-laki itu kehausan karena diajak berlari jauh oleh ibunya. Atau, mungkinkah bayi tak berdosa itu mengetahui niat busuk ibunya?
Kartika menitikkan air mata melihat bayi malang yang dilahirkannya itu tak berhenti menangis. Apa ini pertanda Tuhan tidak ingin nyawa sang bayi terenggut begitu saja?
“Berhenti!”
Terdengar suara memekik. Tangan Kartika yang siap menjatuhkan keranjang bayi ke sungai kecil pun terhenti di udara. Kepalanya yang kaku digerakkan perlahan ke sumber suara.
“Ja … ngan …!” Suara sesosok wanita yang rupanya juga memeluk seorang bayi itu nyaris tersekat. “Ja … ngan! Bayi itu nggak bersalah.” Wanita bernama Ajeng itu mengeleng-geleng panik kepada Kartika.
Deras hujan malam diiringi petir kencang yang menyambar membuat suasana di jalanan sepi itu kian mencekam. Suram. Ajeng mencoba mencari pertolongan. Ditengoknya situasi di sekitar yang masih hening.
Bagaimana ini? Kenapa tidak ada orang yang lewat?
“Jangan ikut campur, ini hidupku dan pilihanku,” jawab Kartika, mencoba mencegah wanita penyelamat di depannya yang terlihat ingin mendekat.
Matanya yang menatap nyalang tiba-tiba berubah sendu saat tak sengaja menatap bayi di gendongan Ajeng. Melihat sepasang mata tak berdosa bayi perempuan itu, Kartika lantas berganti menatap iba bayinya sendiri.