Happy Birthd-die

Bentang Pustaka
Chapter #3

TANTANGAN

Hai, namaku Pijar.

Tugasku di muka bumi ini adalah membuat lilin yang kubawa tetap berpijar.

Selamanya ....

Jangan sampai redup, apalagi padam.

Karena padam berarti mati, lebih baik lilin ulang tahunmu tidak pernah ditiup.

Siapa tahu pada akhir perayaan ulang tahun yang megah ada tangis kehilangan menantimu?

Heksa masih sulit mencerna ucapan Bu Seli. “Kolaborasi? Maksudnya, Bu?”

“Saya dan guru-guru di sini sepakat ingin membuat pensi tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya,” jeda sesaat, Bu Seli menarik napas panjang. “Kalian akan menampilkan musikalisasi puisi yang temanya sudah ditentukan oleh Bu Ghina.”

“Zombi kayak dia emangnya bisa berekspresi, ya, Bu?” sindir Heksa blak-blakan. Ia penasaran, apa gadis itu bisa berekspresi ketika sedih, kesal, atau marah?

“Heksa,” Bu Seli memperingatkan. “Pijar itu cantik, putih, cocok jadi visualisasi buat lagunya Westlife yang ....” Bu Seli mengerutkan dahi, “oh, iya! ‘Beautiful in White’ judulnya.”

Pipi Heksa menggembung, menahan tawa. “Haaa? Apa, Bu? Yang ada malah horror in white, dong!” balas Heksa, pura- pura bergidik. Walau sebenarnya sejak tadi ia berusaha menahan kencing.

Heksa meneliti penampilan Pijar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kardigan warna putih yang sudah buluk, flat shoes berwarna senada yang mungkin sudah lama tidak dibersihkan. Oh, satu lagi. Jangan lupakan warna kulit gadis itu yang pucat seperti mayat. Kurang mistis apalagi, coba?

“Horor?” Pijar menaikkan alis, memandang Heksa dengan tatapan kosong. “Lo takut sama gue?”

Kesal sendiri, Heksa buru-buru mengangkat dagu dan memberanikan diri menatap wajah datar Pijar. “Gue ini kapten tim basket, strong, punya badan proporsional, tinggi, dan pasti ketampanan yang nggak bisa diragukan lagi.” Melihat Pijar tidak bereaksi, Heksa makin mendekat sambil berbisik lirih, “Mau bukti? Mau gue lihatin perut yang penuh roti sobek?”

Niatnya mau tebar pesona, eh, malah jantung gue yang makin berdegup maraton. Jangan salah paham. Ini bukan cinta, melainkan karena tatapan Pijar yang terlalu menyeramkan bagi gue.

Karena lagi-lagi diabaikan, Heksa memilih kembali fokus kepada Bu Seli. “Begini, Bu. Bisa dibilang, saya ini selebgram paling hit di SMA Rising Dream. Jadi, tentu aja saya harus milih- milih teman collabs saya, Bu. Syarat kalau mau collabs sama saya itu harus punya followers Instagram minimal 10 K.”

Bu Seli beralih menatap Pijar dengan ekspresi tak yakin. “Gimana, Pijar? Bisa, nggak?”

Heksa men-decih meremehkan Pijar. “Ya elah, Bu ... zombi kayak dia palingan juga nggak punya Instagram.”

Buru-buru Pijar mengeluarkan ponsel, lalu menyodorkan ke Heksa. “Cek sendiri aja,” katanya dengan aura suram.

Meski takut setengah mati, Heksa masih menunjukkan gaya soknya. Sedetik kemudian, wajahnya berubah masam. “Ha? 5 K? Kok bisa?” Bola mata Heksa nyaris melompat melihat akun Instagram Pijar.

“Alaaah, gue tahu followers lo paling isinya akun-akun gaib semua,” bantah Heksa tak mau kalah. Menurutnya, Pijar pasti membeli followers biar kelihatan kayak anak hit. “Loh, kok bisa isinya followers aktif semua?” Heksa meneguk ludah, dongkol.

Bahkan, di beberapa foto yang dikirim Pijar, ramai sekali komentarnya dari kaum adam. Mustahil banget, kan?

Lihat selengkapnya