Seperti yang tersirat namaku, aku harus memperkenalkan diri dengan ceria. “Halo teman – teman. Nama saya Happy..! Salam kenal semuanya.”
“Oh jadi dia.”
“Emang nama aslinya itu?”
“Masa sih? Nama samaran kali.”
Aku tersenyum simpul mendengar bisikan mereka.
“Silakan duduk." Ujar Bu Lina. Setelah tugasnya selesai mengantar ku, Bu Lina berpamitan kepada guru di kelas ini.
“Sstt Bayu, tau kan apa?” Bisik Indy.
“Hmmm.” Bayu memeluk tasnya dan pindah ke belakang di mana sudah tersedia kursi kosong yang kemungkinan untuk ku. Sempat sebentar, aku dan Bayu saling berbalas senyuman.
“Kita lanjutkan lagi ya.” Ucap guru yang mengajar.
Aku menyampingkan badan mendekati Indy dan bertanya kepadanya secara bisik – bisik. “Siapa nama guru yang di depan?"
“Namanya Bu Intan. Guru matematika.”
“Heh!” Mataku membulat. Baru sadar, Bu Intan memang sedang menulis soal matematika di papan tulis. Gawat. Satu – satunya mata pelajaran yang kurang bersahabat denganku.
“Hahaha... Kamu sudah dapat bukunya, kan?"
Aku mengangguk. Kemudian kami berdua kembali ke posisi semula karena Bu Intan berbalik badan. “Oke. Minggu lalu ibu sudah menjelaskan contoh Limit. Sekarang ada lima soal di papan tulis, ini untuk latihan saja ya, karena minggu depan ibu mau memasukkan nilai kalian. Ada soal seperti ini juga dan kalian harus mempresentasikan ke depan, walaupun cuma latihan, tetap tutup buku, masukan ke dalam tas, dan yang boleh di atas meja hanyalah alat tulis. Ketua kelas tolong bagikan ini.”
Perintah dilakukan. Semuanya memasukkan buku berbau matematika ke dalam tas dan sambil menunggu Indy membagikan kertas HVS. Huff– Entah kenapa aku tidak bersemangat di jam pertama.
Selembar kertas telah dibagikan, waktunya mengerjakan lima soal yang tertera di papan tulis. “Ibu rasa waktunya gak lama ya cuma lima soal doang kok, oke, silakan kerjakan.”
Semua dengan cepat mulai mengerjakan, tetapi hanya aku dengan santainya menopang dagu dan menghela nafas. Melihat angka matematika saja sudah meyakinkan diri tidak bisa menjawab.
--ooo--
Waktu terus berjalan. Indy kelihatan sibuk mengerjakan matematika, sedangkan Bu Intan sedari tadi memandang terus ke depan, sangat sulit bagiku untuk menyontek.
A FEW MINUTES LATER.
“Ayo kumpulkan. Hanya lima soal doang kok. Indy ayo."
Indy bangkit berdiri dan mengumpulkan setiap lembaran jawaban. Ketika dia melihat kertas milikku, dia tidak terkejut. "Good."
"Hehehe." Aku hanya bisa menyengir.
Setelah semua terkumpul. Indy memberikannya kepada Bu Intan lalu kembali ke tempat duduk.
“Oke. Kita jawab dulu ya yang ada di papan tulis. Nama yang ibu panggil maju ke depan.”
Awalnya aku sangat ketakutan jika namaku dipanggil. Siapa tahu mengetes kepintaran murid baru ini, dan nyatanya bukan. Murid itu bernama...
“Seperti biasa, Leo.”
Cowok yang duduk di seberang kiri ku jauh lebih tinggi daripada tinggi ku, kira – kira 170 cm bangkit berdiri. Semua fokus kepadanya. Aku menoleh ke Indy dan Indy mengangguk. "Itu dia." Bisik-nya.
Leo maju dan mengambil spidol Snowman di atas meja Bu Intan yang sedang menilai hasil pekerjaan kita semua. Kemudian, dia menyelesaikan soal dari nomor satu sampai nomor lima dengan cepat. Melihatnya saja, aku sampai terkagum – kagum. Soalnya pendek, tapi jawabannya sangat panjang dan aku bahkan tidak mengerti sama sekali. Sepertinya Bu Intan menjadikan Leo sebagai murid kesukaan. Kecerdasannya saja sampai diakui.
Usai mengerjakan, Leo kembali ke tempat duduk dengan ekspresi biasa. Tidak. Jelas sekali aku melihatnya. Datar tetapi tidak berlagak atau sombong.
(Menarik)
--ooo--
Sudah jamnya istirahat tetapi cewek – cewek masih menghebohkan tentang uji coba matematika tadi. Hasilnya sudah dibagikan dan nilainya sangat memalukan. Termasuk aku. Sebagai siswi pindahan, aku menjadi sorotan kelas. Aku dan Indy saling menutup nilai. Suasana menjadi penasaran. Tinggal kami berdua belum menunjukkan nilai. Penasaran siapa nilai terendah di kelas ini.
“Satu, dua, ti.. ga!"
Ketika memperlihatkan secara bersamaan, nilai terjelek dimenangkan oleh– tentunya aku. 40 : 60, tetapi aku tidak malu.
Indy menggeleng. “Ckckckck. Gak berubah juga ternyata. Sepertinya lu harus belajar sama gue.”
“Ye.. Sama aja lu mah.” Balas temannya.
Tidak sengaja mataku melihat Leo seorang diri keluar kelas.
--ooo--
Aku senang teman – teman menerimaku dengan baik. Kami berbondong – bondong menuju ke kantin. Sepanjang jalan, aku terus menggandeng lengan Indy.
"Kok gak bilang sih kalo hari ini lu mulai sekolah?” Tanya Indy.