HAPPY : Hari ini, esok atau nanti.

Yohanna Claude
Chapter #3

Ajari Aku Matematika

Day-2

Hari ini aku memutuskan mateng – mateng untuk berbicara dengannya. Entah bagaimana aku juga tidak tahu. Jam istirahat ada dua kali. Jadi, waktu yang tepat untuk berbicara dengannya jam istirahat. Aku mengambil jam istirahat yang kedua.

Teman – teman bilang, kalau dia kutu buku yang lebih senang berada di perpustakaan. Aku pun pergi ke sana seorang diri tanpa sepengetahuan mereka, karena mereka melarang untuk tidak menemuinya atau nanti akan menyesal. Bagaimana bisa menyesal kalau belum dicoba. Biasanya penyesalan datang di akhir, kan.

Aku masuk ke perpustakaan. Suasananya dingin, dalamnya besar dan banyak sekali sekat rak buku. Akan sedikit sulit menemukan keberadaannya dan di sini sangat sepi. Ketika aku mencarinya, itu dia! Cowok pendiam itu lebih suka membaca buku di ujung sendirian. Aku berlari bertingkah seperti anak kecil dan tanganku asal mencomot satu buku tanpa melihat judul.

Sampai di dekatnya, pelan – pelan aku menarik kursi lalu duduk di sampingnya, lebih tepatnya arah vertikal meja, berarti Leo arah horizontal meja. Tidak lupa aku membuka buku walaupun hanya berpura – pura untuk dibaca. Anehnya dia tidak menyadari kedatanganku, entah sengaja atau tidak, terlalu fokus pada buku yang dibacanya, sulit mula – mula bagaimana untuk berbicara dengannya. Cara menyadarinya pun, aku harus mengetok – getok meja.

“Hai.”

Akhirnya dia melirik. Tapi, reaksinya biasa saja dan malah kembali membaca buku dalam hati. Senyumanku yang sudah 180° menjadi 0°.

Aku menopang dagu bete menghadapinya, dan baru sadar ternyata buku yang menghipnotisnya itu ternyata buku Komik. “Byōsoku 5 Centimeter? Ih wibu! ... Siapa waifu yang kamu suka? Husbu ku Sasuke. Sasuke-kun." Aku menirukan suara manja Sakura. Tidak sadar, ternyata aku sedang ditatap oleh tatapan khasnya, aku pun diam dan berkeluh kesah. "Uh.. Ternyata jauh dari perkiraan. Teman – teman mengira, kamu selalu di sini untuk belajar, ternyata dan ternyata..."

Leo tidak menjawab.

"Oh iyaaa!" Aku memekikkan jari ke arahnya, ingat akan satu hal. "Pertemuan di rumah sakit kemarin, aku merahasiakannya. Tenang saja, bukan kabar baik untuk disebarkan, soalnya kita sama.”

Tidak salah jika Indy dan teman – teman tidak menyukainya. Inilah sikap yang tidak disukai oleh semua orang. Sama sekali Leo tidak menanggapi apa pun yang aku katakan. Aku kira akan menjadi masalah baginya tentang kejadian di rumah sakit yang mungkin rahasia pribadi. Ternyata topik ini tidak cocok untuk mengajaknya bicara.

"Ya sudahlah."

Bingung dengan dunianya, aku pun bersandar dan menatap langit – langit perpustakaan. Berpikir bagaimana membuatnya dia mau berbicara.

“Ouh, aku paham sekarang ... Jika seseorang menyukai sejarah maka orang itu akan membaca buku sejarah dan menjelajah sejarah. Begitu juga, jika seseorang suka masak, maka orang itu membaca buku resep masakan, dan belajar masak, tapi- semua itu ada hubungannya dengan hobi atau kesukaan. Nah, begitu sebaliknya. Jika seseorang mengidap penyakit kronis seperti kita ini, meskipun sudah tau penjelasan dari dokter yang hanya bisa mengatakan kebenarannya, jadi ini cara kamu menghibur diri kamu sendiri di sini membaca buku dan menyendiri. Benar, kan?"

Tiba – tiba Leo menutup buku dan itu sedikit mengejutkanku. Kemudian, berdiri dan ingin mencari buku lain. Aku kira dia bakalan berbicara atau marah, karena aku terus celoteh dan mengganggunya.

“Biar kuberitahu." Aku pun juga bangkit berdiri dan mendekatinya. "Ada hal lebih menyenangkan yang bisa kita lakukan selain tempat ini. Contohnya, melakukan apa saja sesuka kita. Pergi ke suatu tempat, makan, ngopi atau nongkrong. Apalagi jika berkesempatan, aku ingin sekali pergi ke tempat yang sudah lama tidak aku kunjungi.”

Aku mengambil satu buku dan hanya membukanya saja lalu menaruh kembali pada tempatnya.

“Btw. Menurut kamu, kita ini dipertemukan atau hanya kebetulan?” Aku bertanya langsung pada Leo dengan penuh penasaran. “Dari ratusan siswa di sekolah ini. Aku pikir, mungkin hanya kita berdua memiliki kesamaan dan perbedaan. Kamu tau itu apa?”

Aku terus mengikutinya yang terus mencari buku ke rak lain dan aku bersandar di rak tersebut sambil menyilang tangan di dada. “Aku pernah dengar. Jika memiliki kesamaan dengan seseorang, berarti disebut satu frekuensi, dan apabila terjadi perbedaan, harus saling melengkapi satu sama lain. Aku sih tidak mengerti maksudnya apa, tapi kalau kita jalani pasti bakalan paham. Bagaimana kalau sisa hidup kita yang singkat ini, alangkah menyenangkannya jika kita melakukannya bersama – sama?” Aku mencondongkan badan mengatakan seperti itu, karena aku serius ingin berteman dengannya.

Tangan Leo berhenti ketika hendak mengambil buku, kemudian dia menghadap ku dan menatap ku datar. “Ada yang lebih menyenangkan yang harus lu tangkap. Jika seseorang tidak peduli dengan urusan orang itu, jangan orang itu ikut campur dengan urusan orang lain. Selesai.”

Aku tercengang menatapnya. “Wah. Akhirnya kamu bicara.”

Bel berbunyi. Waktu istirahat kedua berakhir. Leo mengambil satu buku pilihannya untuk dipinjam. Sebelum dia berjalan ke penjaga pustakawan, tatapannya menjadi lebih tajam melihat ku. “Lebih baik hidup dijalan sendiri. Kesamaan atau perbedaan, gue tidak tertarik. Lebih baik jangan mendekat lagi ... Merepotkan saja.” Lalu Leo meninggalkanku. “Gunakan sisa hidup lo sesuka hati karena tujuan kita berbeda.”

Aku tersenyum di kalimat terakhirnya.

Dia, bukan cowok biasa yang kelihatannya tidak pemarah, tetapi dia cowok cetus. Gayanya yang cool dan memiliki wajah tampan menjadi pusat perhatian di sekolah ini. Sayangnya, itu bukan gayanya.

Lihat selengkapnya