HAPPY : Hari ini, esok atau nanti.

Yohanna Claude
Chapter #4

Kesan pertama

Aku mendapat sesuatu yang baru dari mereka. Di kelas baru ku, punya khas tosan yang mereka buat sendiri sebagai kekompakan antar teman, bukan Geng, yaitu Tos Persahabatan. Biasanya kami lakukan saat sapa di sekolah dan saat pulang sekolah.

Karena tos tangan ini begitu sulit dipraktikkan, aku masih butuh belajar dan menghafalnya supaya lancar. "Gakpapa nanti lama – lama lancar kok. Yaudah gue duluan ya." Indy lebih dulu dijemput oleh supirnya. Tertinggal aku dan Molita di lobby menunggu penjemputan.

Kemudian, tak lama berselang, mobil milik Molita datang. "Bye."

"Bye."

Sekarang tertinggal aku belum dijemput. Memang tidak minta dijemput. Aku melihat Leo sedang menelepon sambil menunggu jemputan. Selesai itu, dia pergi berjalan kaki. "Yes..!" Dengan hati senang, aku cepat menyusulnya dan berjalan di sampingnya.

Di dekatnya, sepintas Leo melirikku. “Sudah gue bilang jangan mendekat.”

“Gak dijemput?”

Leo tidak menjawab.

“Tuh kan, aku kan sudah bilang, kita tuh ada kesama—” Aku meliriknya dan dia melirikku juga tapi dengan raut tidak menyenangkan. “an.”

“Merepotkan aja.” Leo berjalan sedikit lebih cepat dari jalanku.

Sikapnya begitu cuek, sampai sekarang aku masih tidak paham apa penyebabnya. Leo jauh dari yang dulu aku kenal. "Oke, oke." Sempat berhenti, aku berlari menyusulnya dan menyesuaikan jalannya. "Bagaimana kalau aku temenin kamuuu pulang?"

“Tidak perlu.”

Aku berpindah posisi. Yang tadinya di kiri menjadi di kanannya. “Bagaimana kalau kita pulang bareng?”

“Sama saja.”

“Hmm kalau begituuu– bagaimana kalau kita main sebentar. Kemana gitu.”

“Tidak tertarik.”

Oh my gosh, aku menyerah. Kalau begitu terus responnya, sulit kedepannya aku mendekatinya. Berjalan dengan kepala menunduk, sebuah tangan besar memegang kedua pundakku dari arah belakang, spontan mengejutkanku. Ternyata itu adalah tangan Leo yang mencoba menggeserkan ku ke tempat lebih aman dari mobil yang melintas. Sikap cueknya dan terkadang gemerlap ternyata dia sosok laki – laki yang peduli.

“Leo?”

Seseorang memanggil namanya. Kami sama – sama menoleh ke belakang, dan orang itu– cewek berambut panjang mengenakan seragam sekolah seperti dari sekolah sebelah dan kuakui dia lebih manis apalagi tingginya melebihiku.

Aku menyipitkan mata, terlihat jelas penglihatan cewek itu melirik tangan Leo yang masih menempel di pundak ku. Dengan santai dan biasa Leo melepasnya. Dibuatlah aku berpikir tentang hubungan mereka berdua. Yang ada dibenak ku sekarang ini adalah hal ini sama sekali bukan diri Leo. Bagaimana mungkin, Leo, laki – laki super cuek, tidak peduli dengan sekelilingnya, bisa berhubungan dengan cewek bahkan dari siswi sekolah lain. Pastinya ada hubungan spesial di antara mereka berdua sebelumnya.

“Tumben kamu pulang jalan kaki? Samaaa?” Cewek itu melirikku.

"Oh hai. Namaku–” Tepat saat aku memperkenalkan diri bahkan mau untuk mengulurkan tangan, Leo begitu saja pergi meninggalkanku. “Tung–“

“Sebaiknya lo pulang Safira.”

Ternyata nama cewek itu Safira.

“Kamu masih sama ya, Leo!” Untuk sesaat Leo berhenti di tempat dengan arah yang berlawanan. “Apa semua harus berakhir seperti ini?” Mendengar suaranya yang semerdu membuatku terheran – heran. "Aku masih suka–"

“Eh cerewet. Mau pulang atau enggak?” Entah siapa yang dimaksud Leo si cerewet itu. Aku menyadarinya ketika Leo dan Safira sama – sama melirikku.

“Aku?”

Tidak menjawab, Leo pergi. Gara – gara pertemuan mendadak, aku jadi kebingungan bagaimana caranya mengucapkan selamat tinggal pada Safira. Pada akhirnya, aku mengabaikannya dan pulang bersama Dia.

Setelah kejadian tadi, sepanjang jalan tidak ada komunikasi di antara kami. Bingung mau memulai topik dari mana.

“Bukan hal penting yang harus lo tau.”

Yap, Leo peka keingintahuanku. Mungkin karena aku terus meliriknya. “Siapa dia?”

Leo tidak menjawab.

Throwback yang katakan Safira dan penghayatan ekspresinya, aku bisa tebak kalau perempuan itu. “Haaa." Spontan aku menyenggol lengannya. "I know. Dia mantanmu, kannn? iya kan?”

Leo mendadak berhenti dan memejamkan mata sambil menghela nafas. Aku tahu dia pasti mau marah, terlihat dari raut wajahnya sedang menahan emosi, tetapi tidak akan ku buat itu terjadi. “It's okay It's okay, no problem.” Sambil menepuk – tepuk pundaknya kemudian jalan mendahuluinya. “Siapa yang tidak kaget. Aku aja kaget. Orang seperti kamu bisa pacaran. Hahahaha. Jadi kepo, pengen tau, seperti apa cara kamu berpacaran. Apakah romantis? ... Um tidak tidak, apa wajah kamu garing juga? atauuu merepotkan saja -_-” Aku mempraktikkan mimiknya seperti biasanya dia lakukan.

"Cih."

Lihat selengkapnya