Setelah pertandingan selesai, diberikan waktu istirahat sejenak di tempat yang tersedia untuk menenangkan tubuh dari rasa lelah.
"Gila panas banget. Seluruh badan gue nyut – nyutan!" Indy mengipas – ngipas wajahnya sendiri menggunakan kipas portable.
"Ia nih, gue juga. Eh Happy mana ya? Kok gak ada." Tanya Irma.
"Katanya ke toilet." Balas Indy sesekali meneguk minumannya.
"Oh."
Pak Horis mengambil bola basket untuk disimpan kembali. Kemudian, menghampiri Indy. "Indy, setelah ini kamu ke ruang kepala sekolah ya." Dilihat dari wajahnya, Indy bingung dengan perintah itu. "Nanti kamu tau sendiri, oke! Jangan lama – lama ya." Teman – temannya juga ikut penasaran.
Setelah darinya, Pak Horis menghampiri Leo yang jaraknya tidak jauh. Rupanya, Leo juga dipanggil oleh kepala sekolah. Tanpa bernanti – nanti lagi, dia langsung menuju ke sana.
"Kayanya soal kemarin deh. Kalau Leo juga dipanggi berarti gak salah lagi." Ucap Molita menebak.
Indy bangkit berdiri dan menitipkan minuman kepada Irma. "Gue titip minuman ya dan jangan kasih tau Happy soal ini—"
"Soal apa?"
"Astaga kaget gue." Indy berbalik badan dan memegang kedua bahu Happy. "Ah enggak. Tadi pak Horis nyariin lu, tapi lu-nya gak ada, jadinya ganti gue deh."
"Untuk apa?"
"Gak tau, yaudah gue ke sana ya." Di belakang, Indy menggunakan bahasa isyarat untuk jangan mengatakan apa – apa.
INDY's POV
Entah kenapa, setiap kali berada di ruang kepala sekolah menghadap Bu Lina langsung, bawaannya pasti tegang, seperti sedang mengalami demam panggung. Tak salah, Bu Lina ditakuti banyak siswa. Hanya duduk di kursi dengan tatapan mengerikan itu membuatku tidak berani menatap matanya. Kecuali— dialah yang berani mengangkat kepalanya.
Bu Lina melepas kacamata dan meletakkannya di atas meja. "Kalian tau kenapa saya panggil kalian?"
Jika perkiraan Molita benar. Jujur, aku takut mengakuinya.
"Santai saja. Saya tidak menerkam kok. Kenapa murid – murid takut sama ibu?" Bu Lina membetulkan posisi duduknya. "Oke." Dan baru sadar. "Tunggu, bau apa ini?" Beliau mencium sesuatu tidak sedap.
Siapa lagi kalau bukan aku pembawa bau keringat ini. Tapi, kelihatannya si dia cuek. Padalah dia yang lebih dekat denganku.
"Ada – ada aja ... Oke lupakan ... Seharusnya kemarin ibu panggil kalian berdua ke sini. Sayangnya, saya banyak urusan dengan yayasan. Sejujurnya, ibu tidak tau apa permasalahan kalian sampai harus ribut di perpustakaan, ibu sendiri juga tidak mau tau. Sekarang, yang ingin ibu ketahui adalah sebuah kejujuran. Ibu sering ingatkan pada kalian, jadilah orang yang jujur, karena menjadi orang jujur memberikan kita sebuah kepercayaan."
Aku mengikuti kata – kata bijaknya dalam hati yang sering kali diucapkan setiap beliau berpidato, mungkin bukan hanya aku saja yang hafal.
"Paham?"