HAPPY : Hari ini, esok atau nanti.

Yohanna Claude
Chapter #8

Satu hari bersamamu

Besok pagi kita ketemuan di stasiun. Aku ingin mengajak kamu ke suatu tempat. Perjalanan kita akan jauh. Jadi, persiapkan diri, oke! Sampai ketemu besok!"

Leo mendapatkan pesan itu, siapa lagi kalau bukan dari Happy.

--ooo--

Day-6

Tentu saja aku sampai lebih awal ke stasiun. Tidak sabar menunggu si Es batu itu. Aku percaya dia akan datang. Alasanya aku juga kurang tahu kenapa dia mau. Tujuan liburan hari ini adalah kesempatan aku untuk menunjukkan kepada dia sesuatu yang semuanya dimulai di masa lalu, yang pasti, itu semua tergantung pada bagaimana dia mengingatnya.

Sosok batang hidungnya terlihat. Tuh kan, dia datang. “Wow.” Seperti lirik lagu, aku terpesona pada penampilan Leo, rasanya aku ingin melambung tinggi jika punya pacar seperti dia. Celana hitam, kaos oblong dan mengenakan jaket kulit. Tidak kusangka, dia bisa memilih outfit yang tepat. Ditambah lagi barang bawaannya hanya tas selempang. Tinggal menunggu kameramen untuk memotretnya dan menjadikannya model. Ya.. tak jauh beda dengan gaya tengilnya di sekolah. “Demi apa pun kamu mirip kaya Kim Taehyung! Tidak, tidak, masih gantengan dia.”

Leo tampaknya tidak peduli soal komentar tentang dirinya. “Lebih baik lu kasih tau gue, kemana kita pergi.” Tanyanya dengan wajah datar seperti biasa.

“Hai! (はい) Eh maksudnya siap sir!” Balasku menghormat seperti seorang prajurit, lalu menarik tangannya. “Ayo. Nanti kita ketinggalan kereta.” Hari ini pasti akan menjadi hari yang menyenangkan.

--ooo--

Kereta yang kami tumpangi berangkat sesuai tujuan. Dalam perjalanan panjang ini, aku tidak lupa membawa tablet untuk belajar matematika. Supaya di ujian hari Senin nanti, bisa mendapatkan nilai lebih baik lagi, sedangkan orang yang duduk di sebelahku, memiliki IQ di atas rata – rata, dimanapun dia berada, tidak lupa membawa komik. Sesantai itu mempersiapkan diri di hari lusa.

"Arghhh.. gak ketemu.. Uuhuu.." Prustasi sama jawaban matematika. Baru kepikiran, ada Dia di sini. Aku menepuk – nepuk bahunya dengan lembut dan Dia merespon. "Ajarin dong..."

Leo terdiam sejenak. Kemudian, meletakkan komik di atas pahanya dan ahli – ahli memegang tablet ku. "Perhatikan." Aku pun mendekatinya agar mudah memahaminya. Jari – jari Leo pun mulai menulis. "... – Jadi, jawabannya adalah B."

Sepanjang dia menjelaskan, bukan tablet yang aku perhatian melainkan wajahnya yang aku tatap, dan ketika dia melirikku, tanpa kusadari ternyata tatapan kami sangat dekat. Saat itu juga aku lupa caranya bernafas.

"Lu paham apa yang gue jelaskan?"

Kepalaku mendongak mundur. "Kamu— menjelaskan tapi kaya ngomong sendiri, jadi aku kurang paham."

Merasa kesal, Leo mengembalikan tabletku dan kembali membaca komik. "Lu bisa nonton di Youtube. Banyak penjelasan di sana dan mudah dimengerti."

Aku mengangguk lugu. Namun, yang mengejutkan buatku adalah pekerjaan Leo dalam menjawab soal matematika ini membuat mata ku terbelalak. "Im,pres,sive..!" Banyak coretan terlihat estetic. "Kalau masuk perguruan tinggi nanti, kamu mau masuk jurusan apa? ... Jangan bilang mau masuk jurusan matematika. Kalau kamu masuk jurusan itu–wah..."

Leo tidak menjawab. Aku melihat dia dalam keadaan bengong. Aku paham sekali apa yang sedang dia pikirkan. "Cerita sedikit ya. Dulu, aku pernah berpikir, aku tidak percaya aku bisa hidup sampai sekarang ini. Itu karena, aku sendiri tidak punya kemampuan untuk bisa melihat masa depan, begitu juga dengan orang lain. Kecuali, doraemon." Aku terkekeh sendiri. "Papa ku pernah bilang 'Bergembiralah akan cobaan' orang sehat maupun orang sakit, tetap ajaaa ada yang namanya masalah. Jadi, ikuti saja hidup ini. Asal.. jangan ikut jalan orang lain ya, nanti sesat lagi. Hehe.."

Ini pertama kalinya aku melihat Leo diam merenung.

"Leo?" Aku nembuyarkan lamunannya. "Ada apa?"

"Tidak, fokus saja sama matematika lu itu."

Cueknya kambuh lagi. Padahal aku cuma bertanya.

--ooo--

Sampailah aku dan Leo di tujuan pertama dan sekarang kami berdua berdiri di depan rumah orang yang depannya terlihat sederhana namun mewah. Terasnya tampak sempit, dipenuhi berbagai pot jenis tanaman hijau. “Dulu.. itu rumah aku. Aku pernah tinggal di daerah ini. Wah.. sudah banyak yang berubah yaa..”

“... Terus?”

Wajahku menjadi datar pada pertanyaan seperti itu. “Y-ya, hanya melihat – lihat aja, penasaran. Tidak begitu penting. Haha.” Mulutku berkedut kesal. Leo sama sekali tidak asik diajak bicara.

"Jangan kurang ajar ya!" Terdengar suara ribut dari dalam rumah itu.

”O ou.” Aku melihat kenop pintu bergerak, berarti seseorang akan keluar. Segera aku pergi dari sini, tidak kusangka Leo masih berdiri di sana. Aku pun memanggil namanya sangat – sangat pelan. "Leoo..!"

Kurang lebih berusia dua puluh tahun, seorang perempuan cantik dan badannya sedikit gemuk keluar mengenakan pakaian feminim sambil mengucapkan kata – kata kotor dari mulutnya.

Usai membanting pintu, gadis itu sedikit terkejut ada pemuda sendirian berdiri di depan rumahnya. “Siapa lo?” Tanyanya sinis. Sayangnya, pemuda ini juga memiliki sifat lebih sinis, menghiraukannya dan pergi. Namun, gadis itu seenaknya menahan tangan Leo. “Sepertinya lu bukan daerah sini. Bagaimana kalau kita tukaran nomor. Kalo lo butuh bantuan tinggal telepon gue."

Mengintip dari balik tembok sebelah rumah gadis itu, aku terkejut gadis itu berpegangan tangan dengan Leo.

Lihat selengkapnya