HAPPY : Hari ini, esok atau nanti.

Yohanna Claude
Chapter #9

Part II

Secara vertikal, matahari berada di atas kepala. Sudah waktunya makan siang, aku dan Leo memutuskan makan siang di bawah pohon rindang sebelum melanjutkan perjalanan ke beberapa tempat. Mengapa tidak makan di restoran? Itu karena, aku dan Leo membawa bekal masing – masing. Makanan yang kami makan harus terjaga, sehat dan asupan yang dikhususkan.

Bekal makanan ku seperti biasa, banyak mengandung serat. Contohnya daging, telur, sayur dan nasi. Bekal ku hampir sama bentuknya bekal anak kecil. Tapi sudah berantakan. "Kalau mami lihat ini, pasti mami... Yasudahlah. Mari makan..! ... Hmm.. masih enak." Aku menikmati makan siangku, dan ketika ingin melihat bekal punya Leo. Siapa yang tidak akan heran, Leo di sebelahku, malah melamun, menatap lurus ke depan. Aku tidak tahu apa yang dia lihat. Hanya jalanan, pepohonan dan rerumputan yang bergoyang. "Leo, ada apa? Apa yang kamu lihat?"

Beralih tatapan, dia hanya melirikku sekilas.

"Kamu tidak makan?"

Ekspresi tenangnya sulit untuk dikatakan bahwa dia menyembunyikan sesuatu. Baru kemudian dia membuka tas selempangnya dan mengeluarkan sebungkus roti dan susu beruang. Sekecil itu bisa menyimpan barang.

Mataku berkedip tiga kali. "Hahaha, ini baru setengah perjalanan kita loh, masih ada beberapa tempat lagi. Tapi kamu cuma makan roti dan susu. Apa itu cukup untuk stamina? Kamu kan– ... uhm.. tidak jadi." Karena cuma aku yang bawa bekal, mungkin ini cukup untuk berdua. "Nih, kita bisa bagi dua. Kamu boleh makan ini, kan?"

"Tidak usah. Roti dan susu sudah cukup."

"Ouh.."

Aku kembali menikmati bekalku. Aku makan makanan bekalku dan dia makan rotinya. Entah kenapa kita jadi terasa canggung. Biasanya kebanyakan orang makan bersama sambil bercerita. Aku meliriknya, wajahnya serius sekali. Dalam arti, bukan sedang berpikir sesuatu tapi– kesal! akan sesuatu. Cara makan rotinya saja sangat tidak santai. Jadinya, aku sendiri pun bingung.

"E.. Le–"

"Soal tadi!"

"Y-yah?"

"Soal tadi– Em.."

Dia ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu untuk mengatakannya.

"Kenapa? Ada apa saol tadi?"

Seperti bilang tidak, bilang tidak, bilang tidak, dan akhirnya...

"Tidak jadi. Lupakan."

Aku benar – benar bingung melihat tingkahnya yang aneh.

"Gue udah selesai. Setelah ini kita mau kemana?"

"Ha? Aku belum selesai."

"Percepat makan."

Aku mengangguk. "Oke." Akibat mengikuti perintahnya aku jadi tersedak. "Uhuk, uhuk."

"Di mana minuman lu?"

Aku mengarahkannya ada di dalam tasku, dan dia dengan cepat mengeluarkan dan memberikannya kepadaku.

Setelah minum banyak. Semua makanan yang tersangkut di kerongkongan akhirnya turun dan rasanya legah sekali.

"Kalau gitu pelan – pelan aja makannya."

Leo mengubah perintah. Itu membuatku ingin tertawa dan aku pun melanjutkan makan dengan santai.

"Kamu tau–? tindakan kamu saat menolong aku itu, keren banget tau." Aku mengangguk. "Keren sumpah." Dan menyenggol lengannya. "Itu baru namanya teman. Pasti kamu mau bilang, tubuh gue bergerak dengan sendirinya, ia kan? It's okay, aku pernah mengalami hal yang sama. Sudah menjadi kebiasaan orang bertindak lebih dulu sebelum berpikir. Dan ujung – ujungnya khilaf lah yang selalu dijadikan alasan."

Leo menoleh padaku tanpa ekspresi. Namun, hanya sebentar. Dari samping, terlihat jelas, dia menyeringai. Aku bingung mengartikannya. "Hanya orang bodoh lah yang seperti itu." Dan suaranya tidak begitu jelas terdengar. "Bagaimana dengan ini ... lebih peduli orang lain daripada diri sendiri, selalu memperhatikan orang lain, ingin tau kehidupan orang lain, apa itu semua dibilang khilaf?"

Ini pertama kalinya, Leo bertanya – tanya. Tapi bukan itu yang aku maksud. "Ma-maksudnya?"

"Gue membicarakan lu."

*Flashback*

“Lu harus belajar pedulikan diri lu sendiri sebelum lu peduli orang lain, karena lu tidak akan mendapat hasilnya jika lu merugikan diri lu sendiri."

*End of Flashback*

Jadi dia mempermasalahkan soal itu. Seolah – olah, apa yang aku lakukan selalu serba salah, peduli atau tidak-nya, aku yang melakukannya, bukan suatu untuk mendapatkan sesuatu atau sengaja atau tidak sengaja aku tidak melakukannya untuk mencari perhatian. Kenapa aku selalu salah di matanya, setidaknya lihatlah aku dan pujilah aku sedikit saja. Ah! Aku benci seperti ini. "Ketika aku berusia delapan tahun. Aku tidak mengerti hubungan orang dewasa. Apa yang terjadi sama aku, ya terjadi lah padaku. Sampai aku berpikir, apa yang sebenarnya terjadi? kenapa terjadinya sama aku? Kenapa– bukan–.. anak yang lain saja.” Membicarakan masa lalu sangat tidak baik untuk orang yang masih memiliki trauma seperti aku ini. “Aku tidak bisa keluar, orang tuaku selalu mengurungku di rumah. Aku, yah, bukan seperti aku yang sekarang ini. Never smiled."

Leo tidak berkata apa – apa, tetapi dia tetap menghormati orang yang sedang berbicara dengan tampang menyedihkan ini.

Lihat selengkapnya