Day-7
Setelah seharian jalan – jalan yang cukup melelahkan, Happy dan Leo kembali ke rumah masing – masing. Mengistirahatkan tubuh untuk mempersiapkan hari esok. Malam itu, yang seharusnya menjadi mimpi indah untuk Happy. Kebahagian yang baru saja ia dapatkan, membawanya ke dalam mimpi buruk.
Tubuh manusia takkan berdaya di tempat tidur jika tubuhnya telah lelap dan rohnya memasuki alam bawah sadarnya. Dan itu terjadi pada Happy. Ia masuk ke dunia mimpinya yang sangat jauh, tenggelam dalam kegelapan dan berakhir di suatu tempat. Ketika Happy membuka mata dan melihat sekelikingnya, tempat ini sedang hujan. Meskipun ini hanya mimpi, tubuhnya bisa ikut terkena basah. Gambarannya seperti, rohnya dalam bentuk tubuh asli masuk ke dunia mimpi.
Awalnya Happy tidak tahu tempat ini. Namun, ia ingat dan semakin ingat kalau tempat ini sangat tidak asing.
"Tidak mungkin."
Tak lama kemudian. Lewat seorang anak kecil berangkat ke sekolah sendirian mengenakan jas hujan.
"A-aku?!"
Berarti mimpi ini membawanya ke masa kecil. Yap, seperti yang ia ceritakan pada Leo. Peristiwa masa kelamnya.
Dalam perjalanan ke sekolah melewati daerah perumahan atau jalan besar. Di tengah jalan, Happy kecil bertemu dengan seorang pria paruh baya berpakaian lusuh dan bertampang kasihan.
(Happy besar membelalak munculnya pria itu, karena dari pria itulah AIDS tersebut. Kemudian, memberitahu dirinya sendiri untuk segera pergi dari hadapan pria itu. Tapi sayangnya, tidak mungkin mendengar.)
“Halo anak manis." Pria itu berjongkok untuk menyeimbangkan tinggi badan Happy. “Sepeda bapak nyangkut di selokan sana. Bapak tidak bisa pulang tanpa sepeda itu, karena punya anak bapak. Maukah kamu membantu bapa untuk mengambilnya?”
("Happy happy, jangan jangan. Jangan kamu bantu dia. Dia orang jahat." Sekeras apa pun, mustahil bisa tersampaikan.)
Happy kecil berpikir sejenak. Karena hujan, jalanan tampak sepi. Jadi pikirannya berkata, hanya dia yang dapat membantu seorang bapak yang meminta pertolongan. Happy pun menganggukkan kepala dengan polosnya. Atas kemauannya itu, diajaklah ia ke suatu tempat.
(Happy tahu apa yang akan terjadi setelah ini. “Kumohon seseorang tolong aku.”)
--ooo--
Happy mengikuti bapak itu dari belakang tanpa rasa takut atau berpikir mencurigakan, masuk ke gang sempit yang mungkin jarang dilewati orang.
“Di mana sepedanya pak?”
“Ada di sana nak. Sebentar lagi. Di balik tembok itu.”
Masa kecil Happy, memiliki sedikit kemiripan dengan kepribadiannya pada usianya saat ini. Lugu, penurut, dan suka membantu orang lain. Selain itu, tidak menilai orang lain.
Tiba di lokasi yang ditujunya. Hasil yang dikatakan bapak itu Zonk. Tidak ada apa – apa. Bukan sepeda melainkan selokan, barang – barang rusak dan sampah.
“Di mana sepedanya pak?”
Bahkan Happy belum menyadari tujuannya dan alasan membawanya ke sini. Di kesempatan yang tepat, Bapak tersebut langsung membekap Happy sebelum orang lain telanjur melihat aksi perbuatan jahatnya. Kemudian segera menggendong Happy ke tempat persembunyian.
(“Tidaaakkk!!!”)
HAPPY's POV
Aku terbangun dari mimpi sambil berteriak. Sudah ada mami di kamarku mencoba membangunkan ku. “Sayang... Astaga sampai berkeringat gini.” Tangannya mengusap keringatku.
Mimpi ku barusan membuatku syok. Nafas saja seperti habis lari jarak jauh. Setelah sekian lama, mimpi itu muncul lagi. "Tidak mungkin." Aku memegang kepala dan gemetaran. "Aku— aku mimpi itu lagi." Di situ aku menangis dan marah pada diri sendiri. "Lupakan, lupakan."
"Happy." Bu Indah menghentikan tangan Happy yang kebiasaannya setiap marah selalu memukul kepalanya sendiri.
"Lupakan, lupakan."
"Happy hentikan!"
"Lupakan. Aku mohon lupakan!"
"Happy!" Bentak mami dan aku segap terdiam. Menatap mata mami, seperti ada sinar di matanya, dan sinarnya itu layaknya aku ditarik keluar dari gelapnya kegelapan.
"Mami aku takuttt.." Dipelukkannya, aku menangis kejer.
"Iya iya mami ada di sini, mami di sini." Inilah yang dilakukan mami. Mengusap punggungku, mencium keningku, dan menenangkanku, hingga aku berhenti menangis. "Mami, papi, bibi juga, pak dodi juga. Semuaaaanya melindungi anak kesayangan mami ini." Kehangatan mami membuatku tenang. Kelembutannya selalu aku butuhkan dalam setiap masalah. “Jangan takut. Mama yakin, sangatttt yakin, orang itu sudah musnah. Sudah tenggelam dalam lautan– tunggu, kok seperti lirik lagu?" Wajah bingung mami akan ucapannya sendiri, membuatku tertawa, mami pun ikut tertawa. Kemudian, tangannya mengusap air mataku dan memelukku lagi. "Aduh anak mami yang cantik ini." Namun pelukannya kali ini lebih erat dari sebelumnya.
"Mami."
"Ia?"
"Pe-pelukan mami. Aku– tidak bisa– nafas."
"Oh astaga maaf." Mami melepaskan pelukan dan melihat ekspresiku kesakitan. "Terlalu kencang ya?"
"E-enggak mi– cuma, baru terasa aja, belakang badan Happy sakit."
"Sakit? Pegal – pegal, kah?"
Aku menggeleng.
"Coba mami lihat." Mami membuka resleting daster tidurku di bagian belakang dan terkejut dengan apa yang dilihatnya. “Astaga Happyy.. Sejak kapan ini? Kenapa bisa?”