"Kerja terus, Nel. Nggak kepikiran buat nikah apa?"
Pertanyaan ke seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan yang aku dengar dari tetangga rempong di samping kontrakanku. Tidak, sebenarnya tak sebanyak itu. Hanya saja aku nyaris tak dapat menghitung pertanyaan ke berapa itu saking seringnya ia tanyakan.
Memangnya kenapa jikalau wanita memilih bekerja sebelum menikah? Hal itu bahkan menguntungkan, tidak merugikan pihak manapun. Aku belum menikah juga tak merepotkan orang lain. Aku makan dan hidup dengan hasil jerih payahku sendiri.
"Takutnya nanti jadi bujang tua," sambungnya sambil terus menyapu halaman depan rumahnya.
Aku menyelesaikan kegiatanku memakai flat shoes berwarna hitam sebelum menyahuti omongan pedasnya itu.
"Lebih baik belum nikah dari pada nikah muda tapi hidup nggak tenang. Ngutang sana-sini karena belum bisa mengontrol keuangan," sahutku telak sebelum pergi dari kontrakanku.
Bermulut pedas, kesabaran setipis tisu, bentuk wajah tegas, ditambah minim senyum. Lengkap sudah kesan red plag dalam diriku ini. Bukan kehendakku, tetapi sudah takdirku tercipta seperti ini. Lagipula, aku tak murni hidup dengan perangai buruk saja. Aku juga bisa sangat baik pada orang yang baik padaku, menghargaiku, dan menjaga perasaanku.
Terlepas dari semua itu, aku adalah wanita karir yang sedang berusaha menanjak menuju kesuksesan yang aku impikan. Aku bekerja di sebuah perusahaan besar di Jakarta yaitu BK Corp. Aku bekerja sebagai asisten pribadi direktur utama perusahaan tersebut. Rencananya uang hasil kerja mau aku tabung untuk membuka butik sendiri.
Ah, namaku Nelisya Adinda. Putri kedua dari tiga bersaudara. Orang tuaku tinggal di Pekan Baru. Aku merantau ke Jakarta untuk memulai karirku. Meski hanya mengontrak, tetapi aku memiliki tabungan yang cukup banyak hasil dari kerja kerasku.
Jalanan pagi ini tak kusangka akan semacet ini. Jika aku tahu hal ini akan terjadi, aku akan berangkat lebih pagi. Pria setengah bapak-bapak itu pasti akan bertingkah menyebalkan jika aku terlambat datang ke kantor.
Terlambat lima belas menit terhitung ketika aku sudah berada di depan perusahaan tempatku bekerja. Tidak, aku tidak akan berlari kesetanan mendatanginya di ruangan. Sudah terlambat ya terlambat saja.
Setelah menaiki lift ke lantai teratas, aku tiba di depan ruangan direktur utama. Ruangan itu tempat bersemayamkan seorang pria setengah bapak-bapak yang bernama Erland Sandrio. Tapi pada ponselku tertulis indah namanya dengan sebutan Pak Error.
"Jam berapa ini, Nelisya?"
Pertanyaan ketus dan menyebalkan itu kudenger ketika aku membuka pintu ruangan itu. Tampaklah sosok pria berusia 30 tahun yang menjadi sumber penghasilanku. Aku akui dia tampan, memiliki tubuh yang bagus, dan mata yang indah. Ah, sayangnya dia terlalu kuno disebut Directur muda idaman.