Tangan berlumuran darah itu membekap mulut Nurdewi sangat erat. Alih-alih bersuara, bernapas pun Nurdewi nyaris tak mampu. Kendati demikian, sebisa mungkin dia menahan napas dan suara apa pun yang menghasilkan berisik. Dia tidak boleh bersuara. Bahkan meski hanya bergerak satu mili, dia tidak boleh. Atau jika tidak, dua laki-laki dan satu wanita yang memegang bedil itu mengetahui keberadaannya.
Sementara Nurdewi berkonsentrasi demi membuat napasnya senyap, ketiga orang itu mengobrak-abrik seluruh ruangan reyot kecil lembab ini. Mereka melempar perabotan-perabotan yang ditemukan di meja, membuang piring, gelas, menginjak tempat tidur bobrok yang kasurnya terlihat sudah tak lagi empuk.
“Bajingan! Di mana bocah haram jadah itu!” umpat wanita berwajah tegas dengan rahang mengerit. Dua laki-laki yang bersamanya memelesatkan peluru ke langit-langit gubuk reyot yang sebenarnya sudah bolong-bolong.
“Tahi kucing!”
Mereka nyaris putus asa. Namun tak lama kemudian, salah satunya menemukan sebuah pintu menuju bilik ruangan lain di gubuk itu. Mereka saling pandang, tersenyum penuh arti. Tak tanggung-tanggung, mereka menarik pelatuk dan senjata itu menumpahkan amunisi tanpa henti, tak peduli bocah haram jadah itu mampus di tempat, di mana pun dia bersembunyi.
Tangan kusam berkulit kecokelatan berlumuran darah itu mengencang, memberikan instruksi agar Nurdewi menahan setiap gejolak rasa takut. Namun, sia-sia karena tangis gadis malang itu tumpah sedemikian hebat dalam rasa takut yang kalut. Nurdewi nyaris mati sebelum peluru menembus setiap bagian tubuhnya. Untungnya amunisi para pembunuh bayaran itu habis, dan mereka tak membawa cadangan apa pun. Sebenarnya mereka sudah membawa amunisi yang cukup hanya untuk membunuh si bocah haram jadah dan laki-laki keparat yang bersamanya, tetapi mereka dihadang beberapa orang saat memasuki gubuk reyot ini, dan mereka harus membuang-buang waktu menghabisi orang-orang itu.
“Tahi! Kita sudah kehabisan amunisi,” kata laki-laki berambut jambul sambil mengangkat senjata, lalu meletakkan laras panjangnya di bahu. Dia mengeluarkan keretek dari saku celana jinnya. “Tapi aku yakin bocah haram jadah itu sudah mampus! Di mana pun dia sembunyi, dia pasti sudah jadi mayat sekarang.”
Si wanita menarik sudut kanan bibir. Dia tersenyum masygul. “Jangan senang dulu karena kita belum menemukan laki-laki keparat itu. Bisa jadi bocah haram jadah itu sedang bersembunyi bersamanya. Tidak menutup kemungkinan dia dilindungi,” komentarnya.
Si laki-laki jambul duduk di atas ranjang kayu bobrok yang kasurnya robek di mana-mana dan kapuknya beterbangan di sekitar, membuatnya batuk sesekali. Sebelum mengembuskan asap rokok, mulutnya membentuk huruf “O”, lidahnya mendorong asap membubung membentuk lingkaran. Dia melihat asap yang menggumpal padat berbentuk lingkaran itu, seolah-olah berharap memberinya ide cemerlang, atau bahkan memberitahunya tempat dua orang keparat yang sedang mereka cari.
“Aku tahu,” katanya sambil tersenyum simpul. Dua orang teman si jambul seketika menatapnya, menunggu lanjutan kalimat itu. “Aku tahu sekarang di mana mereka sembunyi.” Dia menyipitkan kedua mata, lalu berdiri mendekati dua orang temannya.
Si jambul mengisyaratkan teman-temannya mendekat ke mulutnya yang monyong, dan mereka menurut. “Mereka sebenarnya masih ada di gubuk sialan ini. Tepat di sini. Lihat, ruangan ini luas. Di sebelah kanan ada meja. Kolongnya ditutup menggunakan pelat besi,” kata si jambul yang lantas membuat kedua temannya membelalak sambil manggut-manggut.
Seringai ketiga manusia ini kembali terbit. Tanpa aba-aba, kaki mereka otomatis bergerak pelan menuju meja yang berada di sudut ruangan. Nyaris tak terdengar derap langkah. Salah satu alasan mengapa belum ada jerit kesakitan yaitu karena pelat besi paten itu menghalangi peluru mereka. Anak haram jadah dan laki-laki keparat itu sangat beruntung karena masih bisa selamat, bahkan sampai para penjahat sialan itu kehabisan amunisi.
Nurdewi membelalak saat merasakan tangan yang membekap mulutnya tak lagi erat, bahkan tak lama kemudian terlepas. Dia menoleh ke belakang dengan sorot bertanya pada lelaki berambut ikal. Nurdewi hanya diberikan anggukan pelan bercampur senyuman masygul. Dia mengerti arti senyuman itu, dan Nurdewi menolak dengan gelengan cepat. Tangan mungilnya yang dipenuhi kotoran dan debu bahkan bekas tangis itu langsung bergerak menyentuh wajah si lelaki.