Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #2

Bagian 1 (2)

Nurdewi berjalan lunglai di tanah becek yang seharian diguyur hujan. Kakinya terperosok lubang berlumpur digenangi air. Gadis kecil itu meringis sambil berusaha menarik kakinya yang menempel lekat seolah-olah ditarik sepasang tangan. Dia masih harus berjalan menyusuri desa kecil di pelosok itu sampai tiba di kota sesuai amanah ayahnya. Perjalanannya masih sangat jauh. Sementara itu, hari bertambah gelap. Tak seorang pun tampak di desa itu. Tak satu pun kepala muncul di gubuk-gubuk yang berjarak puluhan meter dari satu gubuk ke gubuk lain.

Sungguh itu pengalaman paling buruk selama Nurdewi hidup. Gadis kecil sepertinya harus memikirkan cara bertahan hidup, dan bahkan lebih buruk didera kesedihan atas kehilangan sang ayah. Tentu saja, Nurdewi berharap ayahnya masih hidup, lalu berhasil kabur dari para pembunuh bayaran itu. Namun ia tak tahu laki-laki berambut ikal itu sudah dilempar ke neraka. Selain itu, Nurdewi tak mengerti mengapa dia dan ayahnya dikejar-kejar orang dan mau dibunuh. Sekuat apa pun dia berusaha mencari jawaban dari banyak pertanyaan di kepala, dia tak menemukan.

“Ayah,” gumam gadis itu sambil menatap langit yang menampakkan sekelebat cahaya, lalu hilang ditelan entah menjadi gelap.

Nurdewi kembali berjalan di tengah kegelapan. Dia berharap bisa menemukan sebuah tempat, setidaknya untuk beristirahat dan memejamkan mata yang lelah. Dan satu hal yang dia khawatirkan, bahwa hujan sebentar lagi menumpahkan bulir-bulir membekukan. Suhu udara desa yang dingin saja sudah membuatnya menggigil setengah mati, ditambah embun-embun yang membasahi rambut kepang dua sepanjang punggungnya. Apalagi jika hujan turun, Nurdewi cemas dia mati kedinginan.

Kaki-kaki kecilnya makin tersaruk karena tak sanggup lagi mengangkatnya lebih tinggi. Apalagi batu kecil dan duri beberapa kali sudah berhasil melukai telapak kakinya. Nurdewi terengah-engah. Mata sayu menyipit. Pandangan buram di tengah-tengah perjalanan yang belum seberapa jauh. Hingga tak lama kemudian, hujan menurunkan bulir-bulir kecemasan yang Nurdewi khawatirkan. Dengan kaki terpincang-pincang, dia terus berjalan. Tak mungkin diam karena para pembunuh bayaran bisa menangkapnya. Dia tak ingin mengecewakan sang ayah. Beberapa puluh meter di depan, Nurdewi melihat sekelebat cahaya kuning remang-remang di sebuah gubuk. Seolah mendapat kekuatan dari entah, Nurdewi mempercepat langkah, dan dia berhasil tiba di gubuk itu. Namun tak seorang pun ada di tempat tersebut. Bahkan pintunya terbuka lebar. Lampu minyak menggantung di tengah-tengah satu-satunya ruangan gubuk reyot.

“Permisi,” katanya lirih. Suaranya nyaris tak bisa keluar, tapi Nurdewi mendengar ucapan keluar dari mulutnya. “Apa ada orang?” Kepalanya melongok di ambang pintu, bergerak ke kiri dan kanan melihat sekeliling gubuk sempit itu. Tak ada siapa pun. Bahkan jika berpikir ada orang pun, di mana dia bersembunyi sedangkan gubuk itu luasnya hanya sepetak, hanya cukup untuk tidur dua manusia kecil.

Nurdewi makin cemas tak bisa menahan kantuk dan rasa lelah. Kakinya otomatis bergerak, lalu dia masuk ke gubuk itu meskipun tak seorang menyahut. Paling tidak, dia bisa beristirahat. Meskipun besar kemungkinan para pembunuh bayaran bisa menemukannya, tapi tak ada pilihan lain. Nurdewi juga butuh mengembalikan tenaga sehingga dia bisa melanjutkan kabur.

Ada satu tikar dari jerami yang digelar di gubuk itu, membuat Nurdewi berpikir pemiliknya pasti sedang keluar. Dia tak tahu daerah di sekitar sini. Namun, dia meyakinkan diri pemiliknya pasti orang baik. Jadi tak apa-apa meminjam tempat itu demi istirahat. Nurdewi lekas mendudukkan diri. Karena sudah kehilangan banyak tenaga, dia menggelepar tak sadarkan diri. Gadis kecil yang malang.

 

Mata gadis kecil itu membuka. Sekilas kemudian, dia membelalak mendapati dirinya tak lagi ada di gubuk sempit dengan satu lampu minyak remang-remang. Nurdewi tercenung dengan berbagai pertanyaan di kepala. Tatapannya nanar, mengedar ke sekeliling yang dipenuhi anak-anak gadis seumuran dengannya. Tiap-tiap wajah itu menyiratkan kesedihan sempurna nan dalam. Ada yang menangis, meringis, ada pula yang sedih dalam diam. Setelah kesadarannya terkumpul cukup banyak, barulah Nurdewi mengetahui fakta bahwa dirinya berada dalam kendaraan yang memelesat cepat.

Lihat selengkapnya