“Kita akan segera dijual. Aku melihat semuanya. Mereka orang-orang jahat. Mereka membawaku pergi di depan kedua orang tuaku,” kata si gadis ompong setelah beberapa menit kendaraan berhenti dan mesin dimatikan si sopir.
Terlihat wajah-wajah takut penuh keputusasaan. Sorot-sorot kusam. Ringis kegelisahan. Semua itu terjadi di sekeliling Nurdewi. Namun entah mengapa dia tak setakut gadis-gadis lain. Dia justru menantikan hal luar biasa apa yang sesaat lagi akan dia lihat. Atau hal menyenangkan apa yang sudah menantinya. Sebab pikirnya kala itu, enak sekali hidup di kota. Dia bisa pergi ke bangunan-bangunan megah di pinggir jalan yang dia saksikan. Dia akan bisa makan apa pun. Dia akan hidup bebas di kota, berbaur dengan orang-orang yang dimabuk kesenangan. Gagasan itu sampai tak sadar membuat jantung Nurdewi berdentam keras.
Hingga tak lama kemudian, pintu belakang truk membuka lebar. Semua gadis tak ada yang berani menatap orang-orang yang membuka pintu itu. Namun Nurdewi, dengan keyakinan dan gagasan barunya, dia seolah menantang semua orang yang ada di situ untuk membawanya dengan senang hati. Dia berdiri lebih dulu daripada gadis-gadis lain. Sorotnya melebar, seolah-olah menyambut dua orang pesuruh berkulit kecokelatan dengan rambut gondrong itu. Keduanya mengernyit heran, lantas tak memedulikan sikap Nurdewi.
Seorang laki-laki berjaket kulit hitam dengan keretek terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengah naik ke truk. Tangan besarnya yang mengepal membentur badan truk sambil berkata, “He! He! Semuanya! Bangun! Kita sudah sampai! Ayo, lekas turun!”
Gadis-gadis lusuh itu terhenyak tak main-main. Tak ada yang berani melawan. Kendati demikian, ringis cemas masih tetap terdengar. Nurdewi mendului semuanya, menjadi paling depan di antara mereka, lalu diikuti si gadis ompong, lalu gadis-gadis penakut lainnya yang masih bersedih hati. Nurdewi turun dari truk, seketika takjub melihat lahan luas dipenuhi material-material bangunan. Pandangannya mengedar ke sekeliling. Tak lama kemudian, puluhan mobil datang ke tempat itu. Salah satu mobil menyorot ke para gadis, lalu mata Nurdewi menyipit sambil menatap orang yang tengah keluar dari sana.
Ada seorang wanita, berusia sekitar 40-45 tahun dikawal puluhan laki-laki berjas. Satu kata yang terlintas di benak Nurdewi manakala melihat wanita itu, “Cantik.” Dia tak sadar berkata begitu, tanpa satu pun yang mendengar.
Wanita itu bergaun merah panjang dengan bulu-bulu lembut yang menggantung di leher. Bibir tipisnya yang melengkung ibarat busur panah dilapisi lipstik merah menyala pula. Mata agak sipit dengan bulu mata yang minimalis terlihat sangat mengintimidasi siapa pun. Kedua alis hitam yang di masing-masing ujungnya lancip makin menambah intimidasi begitu sempurna. Bentuk wajahnya yang tirus, memesona. Tak salah Nurdewi langsung tak sadar berkata cantik. Sebab memang seperti itulah adanya. Wanita itu cantik tak kurang satu apa pun. Namun yang menjadi pertanyaan, siapa dia?
Si wanita berdiri, para pengawalnya berderet di kedua sisi. Para gadis makin meringis. Tak ada yang tahu nasib mereka akan seperti apa beberapa waktu ke depan. Tak ada yang menjamin mereka akan tetap hidup.
“Semuanya diam! Jangan ada yang menangis! Hapus air mata kalian!” teriak si laki-laki berjaket kulit. Rokoknya nyaris habis. Dengan satu isapan panjang, dia membuang puntung rokok, lalu menginjaknya lamat-lamat. “Mulai sekarang, kalian ikut dengan Tante Melisa. Tante Melisa yang cantik akan mengurus semua kebutuhan kalian. Kalian akan hidup sejahtera. Kalian tidak akan kekurangan satu apa pun, asal kalian tidak melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Jika ada yang berani kabur atau macam-macam, kalian akan kami buang, atau bahkan kami bunuh!”
Para gadis malang itu menelan ludah kasar. Ucapan si lelaki berjaket kulit seolah menghentikan dengan cepat aliran napas mereka. Alih-alih tenang, yang ada mereka makin didera ketakutan yang dalam. Namun Nurdewi masih terlihat santai. Bahkan sejak awal sorotnya tak luput dari memandangi wanita cantik bernama Tante Melisa. Sekilas kemudian, Tante Melisa memberikan senyuman merekah penuh arti pada Nurdewi.
Nurdewi membelalak. Secara naluri, dia mengetahui Tante Melisa orang jahat yang akan membawa hidupnya menuju sebuah dunia gelap. Meskipun begitu, ada kehangatan yang tersalur secara alami dari senyuman yang dia beri. Nurdewi merasakan sekelebat perasaan nyeri di dada, sekaligus tenang, tetapi dia tak tahu apa namanya perasaan itu. Sepasang mata itu sangat mengintimidasi. Sayang, dia tak bisa memungkiri kenyamanan yang datang begitu saja.
“Hai, anak-anak,” sapa Tante Melisa. “Mulai sekarang, kalian ikut dengan Tante, ya. Ya, Tuhan. Kalian kusam sekali. Nanti sampai di rumah kita, Tante akan memberikan kalian perawatan ekstra. Tante yakin kalian adalah gadis-gadis cantik pilihan di desa masing-masing. Tenang saja, ya. Kalian tidak akan tinggal di rumah bobrok kalian lagi. Tante akan membiayai hidup kalian. Jadi, jangan sungkan minta apa pun yang kalian butuhkan.”
Sekian pidato singkat Tante Melisa yang seketika itu memenuhi gagasan Nurdewi. Gadis berkepang dua itu tak sabar ingin cepat-cepat dibawa ke rumah yang di dalam pikirannya sangat megah seperti bangunan yang dimiliki orang-orang kaya perkotaan. Dia amat senang, bahkan nyaris melupakan tujuannya datang ke kota. Nurdewi langsung ingat amanah ayahnya. Dia ingat diberi secarik kertas. Dia yakin menaruh kertas itu di kantong gaunnya yang kecil. Nurdewi meraba-raba, merasakan tekstur kertas yang sudah agak kering dari basah beberapa waktu lalu. Namun untuk sekarang, dia tak bisa langsung melakukan apa yang ingin dia lakukan. Yang penting adalah menikmati momen tinggal di kota sesuai gagasan barunya yang menyenangkan.
Para gadis itu dibawa masuk ke mobil. Masing-masing mobil mewah itu berisi setidaknya tiga gadis. Sementara ada 21 gadis, yang berarti ada tujuh mobil yang membawa mereka. Kebetulan Nurdewi berpasangan dengan si gadis ompong dan satu gadis yang terlihat lebih kecil darinya. Mereka berada di satu mobil dengan Tante Melisa. Dan Nurdewi di sepanjang perjalanan, tak lepas dari memandangi wanita itu dari kaca spion. Tentunya, Tante Melisa menyadari itu. Dia hanya bisa tersenyum dengan arti yang tidak bisa dipahami siapa pun.
Sejak malam itulah, kehidupan baru Nurdewi dimulai. Setiap aspek dalam kehidupannya seolah diprogram ulang. Dia akan tinggal di rumah besar lagi megah. Mungkin puluhan kali lipat lebih luas dari tanah gubuk reyotnya, dan Nurdewi menikmati setiap hal yang terjadi di dalam hidupnya meskipun terkadang pikiran tentang ayah dan desanya di pelosok kerap kali menghantui.
Para gadis itu dikumpulkan di halaman depan rumah megah berarsitektur klasik. Mulai dari pilar yang memiliki ukiran berbagai macam bunga dan hewan. Pintu yang terbuat dari kayu jati paten berukiran abstrak, ibarat diukir seniman paling legenda di dunia. Belum lagi pegangan pintu berwarna kuning emas yang bentuknya seperti kepala naga. Suasana di rumah itu benar-benar tenteram sebagaimana yang dirasakan Nurdewi. Apalagi saat dia memperhatikan warna yang mendominasi setiap dinding, secorak dengan ubin-ubin berukuran besar setiap lantainya, yaitu hijau muda. Tak terbayang rumah itu memiliki berapa banyak ruangan. Yang terlihat dari tampak depan, jendela-jendela berbentuk persegi, semestinya ada lebih dari sepuluh ruangan.
Meskipun Nurdewi berada di halaman depan bersama gadis-gadis lain, tetapi dia masih bisa menyaksikan dengan jelas ada berbagai furnitur dari kayu jati paten berukiran macam-macam. Ada kursi, meja, lemari, bahkan asbak pun tampak sangat bernilai di mata Nurdewi. Tak pernah dia melihat benda-benda seperti itu di desanya. Paling-paling yang sering dia lihat adalah tempat duduk yang kebanyakan terbuat dari bambu. Mencari bambunya pun tak susah. Hanya perlu keluar dari gubuk reyotnya, lalu berjalan beberapa meter, siapa pun boleh menebang bambu itu.