Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #4

Bagian 2 (1)

Nurdewi sudah wangi, cantik, bersih, glowing, dan bahkan anggun. Mama Melisa sangat terampil mengubah penampilan para gadis lusuh itu sehingga terlihat menjadi gadis berkelas perkotaan pada umumnya. Masing-masing dari mereka diberikan gaun baru bersih. Tak lupa disemprot wangi parfum aroma lavender yang searoma dengan wangi setiap ruangan rumah megah itu. Si gadis ompong yang sebelumnya terlihat seperti nenek peyot kekurangan gigi pun sudah jauh berubah menjadi gadis cantik berkelas. Gigi ompongnya itu sama sekali tidak membuatnya terlihat menyedihkan. Kulit para gadis mengilap, seolah debu dan kotoran takut hinggap barang sedikit pun.

Tak kurang satu apa pun, mereka sudah diberi makan makanan mahal dan berkelas. Nurdewi masih tercenung dengan ketakjubannya pada kehidupan baru itu. Dari gadis desa kumal yang hanya makan ubi dan tumbuh-tumbuhan, makan daging setahun sekali, kini akan lebih sering makan makanan lezat. Jantungnya berdentam, sementara pantatnya menempel lekat di kursi kayu jati paten seolah-olah tidak ingin beranjak barang sedikit pun. Disaksikannya para gadis lain makan sangat lahap. Tak ada yang meringis kali ini. Mereka sama gembiranya seperti Nurdewi. Demikian pula dengan gadis ompong yang sedari tadi sudah nambah nasi serta lauk sebanyak tiga kali.

Mama Melisa yang sedang makan dengan raut wajah tenang, sesekali tersenyum melihat para anak gadisnya kenyang dan cantik. Pandangannya tertumbuk pada Nurdewi yang duduk di kursi paling tengah. Sungguh-sungguh gadis itu memang cantik, entah siapa ibunya, entah siapa ayahnya, Mama Melisa hanya bisa bertanya-tanya. Bahkan tak jarang dia merasa mustahil Nurdewi berasal dari desa pelosok di antara pelosok.

“Kamu tidak nambah lagi makannya, Sayang?” tanya Mama Melisa yang kemudian meraih segelas minuman di sebelahnya.

Nurdewi menoleh karena merasa dirinya yang diajak bicara, sementara yang lainnya masih terus nambah mengisi perut mereka sampai entah. Gadis itu menggeleng pelan. Sebelum menjawab, dia beserdawa amat keras. Sehingga secara refleks, dia membekap mulut.

“Maaf,” katanya, tersenyum getir. “Nur sudah kenyang,” lanjutnya. Dia menggaruk pelipis. Sekilas kemudian, matanya mengedar ke sekeliling ruang makan yang sangat luas itu. Saking luasnya, Nurdewi sampai bertanya-tanya, untuk apa ruangan makan dibuat seluas itu. Lagi pula, meja makan memanjang yang berada di tengah-tengah ruangan tersebut hanya bisa menampung sekitar 25 orang. Tempat di ruangan itu tersisa masih sangat banyak. Namun tak ada yang diletakkan, entah lemari, bufet, atau apa pun. Yang tampak ramai justru dindingnya karena dipenuhi lukisan abstrak yang Nurdewi tidak ketahui maknanya.

Selain itu, juga ada beberapa bedil yang terpajang di sebelah lukisan-lukisan tersebut. Mata Nurdewi menyorot pada bingkai foto besar yang menampilkan wajah cantik Mama Melisa. Mungkin itu foto Mama Melisa sewaktu usia dua puluhan, begitulah pikir Nurdewi. Bahkan setelah cukup berumur pun, Mama Melisa masih sangat cantik. Apalagi ketika masih muda dan belia. Nurdewi mengernyit sekilas kemudian, sebab entah seperti siapa Mama Melisa terlihat di matanya.

Si gadis ompong yang duduk di sebelah Nurdewi memperhatikan raut wajah datar gadis itu. Setelah meminum segelas air putih, dia menyadarkan Nurdewi dari lamunan menggunakan sikutnya yang dibenturkan di lengan Nurdewi.

“Ada apa?” tanya si gadis ompong dengan kerutan di kening. Dia mungkin mengira Nurdewi tengah memikirkan cara agar bisa kabur dari rumah Mama Melisa, atau merenungi bakal nasibnya ke depan. Namun mustahil, sebab si gadis ompong sudah melihat sendiri betapa ajaib gagasan Nurdewi.

Lihat selengkapnya