Nurdewi adalah satu-satunya yang menerima keadaan secara lapang dada dari sekian gadis lain yang dibeli Mama Melisa dari si agen penjual manusia dari desa. Nurdewi sudah menganggap Mama Melisa sebagai ibunya sendiri. Sebab dia selalu diberikan perhatian yang hangat. Jika itu yang dinamakan kehangatan dari seorang ibu, maka artinya sama seperti Nurdewi pernah memiliki ibu yang membesarkannya. Meskipun pada kenyataannya, Nurdewi tidak tahu rasanya seperti apa memiliki seorang ibu, tapi dia amat yakin debaran dan kenyamanan yang dia rasakan saat diperhatikan Mama Melisa adalah salah satu dari perasaan yang tidak pernah dia rasakan selama hidup.
Nurdewi tumbuh dengan gembira. Dia menjadi gadis periang. Dia selalu bermain dengan anjing Mama Melisa di halaman depan rumah. Dia meminta apa pun pada Mama Melisa dan selalu dikabulkan. Nurdewi benar-benar berbeda dari teman-teman gadisnya. Kini Nurdewi berusia 15 tahun. Dia sudah menjalani kehidupannya bersama gadis lain dan Mama Melisa di rumah megah itu selama kurang lebih tiga tahun. Karena kehidupan memabukkan itu, dia bahkan tidak ingat pernah memiliki masa lalu kelam. Dia tidak ingat pernah berpisah dengan ayahnya di tengah-tengah suasana mendebarkan. Demikian pula Nurdewi tidak pernah bermimpi tentang kehidupan lamanya.
Karena menjadi gadis penurut bijaksana, hanya Nurdewi satu-satunya yang diperbolehkan keluar dari rumah, bermain ke tempat-tempat hiburan, mencari teman di luar, membeli apa pun di luar, dan bahkan dimanjakan lebih dari apa pun. Nurdewi jadi punya banyak kenalan. Para laki-laki terpesona karena kecantikan keparatnya. Rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, mengibas-ngibas ditiup angin di bulan Januari yang dingin. Bibir tipisnya yang melengkung tampak seperti busur panah, masing-masing sudutnya presisi tak kurang satu apa pun. Bahkan hidung lancip dengan dua lubang kecil itu tampak menyenangkan dipandang berlama-lama.
Tubuh Nurdewi bahkan sudah jauh berubah. Dulu ia sangat mungil, nyaris kurus kering. Kini dia berisi. Tulang belikatnya menyembul sedikit hanya untuk melengkapi keseksiannya tiada ampun. Kedua lengannya apalagi, nyaris tak tampak bertulang. Dia gadis yang bertulang besar, tetapi padat berisi dengan dada yang terlihat menonjol. Mengingat usianya yang masih remaja itu, sepertinya Mama Melisa melakukan keajaibannya lagi dalam merawat Nurdewi. Karena tak hanya dada yang menyeruak. Pinggulnya pun tampak lebar dengan lekukan sempurna hingga paha. Bokongnya mencuat naik.
Di suatu malam, Nurdewi menatap kemilau gemintang berpola di langit cerah. Dia berdiri di balkon tingkat dua dengan kepala mendongak. Cahaya berkelebat di iris matanya yang bening. Lengannya mengangkat, lalu bertopang dagu. Tak lama kemudian, telinga gadis itu menangkap ringis samar yang tertahan. Dia menoleh ke sekitar. Tak menemukan apa pun, dahinya mengernyit. Kaki Nurdewi mengangkat, berjalan ke sudut balkon. Tepat di ambang pintu, Nirmala—si gadis ompong—meringkuk dengan kedua lengan menyatu di lutut. Kepalanya menunduk dengan wajah disembunyikan.
Nurdewi begitu saja menghampiri Nirmala. Dia berdiri di depan gadis itu, lalu menunduk menyorot lamat-lamat.
“Kamu kenapa?” Nurdewi mendengar dirinya bertanya. Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Namun dia mengulang pertanyaan itu dengan suara bersih. “Kamu kenapa? Apa yang terjadi?”
Nirmala bukannya tak mendengar pertanyaan itu. Dia hanya berusaha untuk terus menyembunyikan wajah. Dia sedang bersedih hati, gundah gulana, meringis, bersimbah air mata. Nurdewi jelas tak pernah melihat Nirmala bersikap seperti itu. Meskipun kadang gadis itu selalu mengeluh dan bersedih hati, tetapi tak pernah tak menjawab pertanyaan Nurdewi. Itu yang mendasari gagasan Nurdewi agar memberikan perhatian penuh pada Nirmala. Dia menjongkok kemudian. Kepalanya dimiringkan ke kiri, mencoba memahami apa yang terjadi.
“Apa Mama memarahimu?” Pertanyaan ke sekian keluar dari mulut Nurdewi. Kali ini, Nirmala menanggapi dengan gelengan pelan, tak mengubah posisinya barang sedikit pun. “Lalu, apa?”